TEMPO.CO, Jakarta - Rwanda pada Minggu memulai peringatan selama satu pekan untuk memperingati 30 tahun genosida terhadap ratusan ribu warga etnis Tutsi pada 1994.
Presiden Paul Kagame dan ibu negara Jeannette Kagame, bersama pejabat asing termasuk beberapa kepala negara dan pemerintahan, meletakkan karangan bunga di Kigali Genocide Memorial, tempat lebih dari 250.000 korban dimakamkan.
Kagame kemudian menyalakan "Flame of Remembrance" di peringatan tersebut.
Api akan tetap menyala selama tujuh hari di empat peringatan genosida di berbagai wilayah di negara Afrika Timur yang ditambahkan ke Daftar Warisan Dunia UNESCO pada September lalu.
Sekitar 1 juta orang, sebagian besar dari mereka adalah anggota komunitas Tutsi dan Hutu moderat, terbunuh dalam genosida yang dilakukan oleh ekstremis Hutu dalam pembantaian dalam kurun waktu 100 hari.
"Hari ini, hati kami dipenuhi duka dan rasa syukur yang tak terkira. Kami mengenang orang-orang yang meninggal dan juga bersyukur atas apa yang telah terjadi di Rwanda. Rwanda benar-benar merasa rendah hati atas besarnya kehilangan yang kami alami dan pelajaran yang kami peroleh terukir dalam darah," kata Kagame.
Kagame mengkritik politik kesukuan yang menurutnya semakin menonjol di beberapa wilayah Afrika.
“Tragedi Rwanda adalah sebuah peringatan, proses perpecahan dan ekstremisme yang mengarah pada genosida bisa terjadi di mana saja jika tidak dikendalikan,” ujarnya.
Berbagai kegiatan peringatan akan dilakukan di seluruh negeri, termasuk pawai yang disebut Walk to Remember, diikuti dengan acara malam hari di Kigali, sementara hiburan dan kompetisi olahraga telah ditangguhkan.
Tengkorak orang yang tewas selama genosida Rwanda tahun 1994 diatur dan dikunci di luar Gereja Katolik St. Pierre, di Kibuye, pusat kota Karongo, distrik Karongi Barat Daya Rwanda, 26 Mei 2023. REUTERS/Jean Bizimana
Moussa Faki Mahamat, ketua Komisi Uni Afrika, menyatakan harapannya bahwa peringatan tahunan ke-30 genosida terhadap suku Tutsi akan membuat hal ini menjadi "kenyataan yang tidak akan terulang lagi".
Presiden Dewan Eropa Charles Michel menyesali kepasifan komunitas internasional ketika ribuan orang dibantai pada 1994 di Rwanda.
Dalam pesannya minggu ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan Prancis dan sekutunya “bisa saja menghentikan” genosida tetapi “tidak memiliki kemauan untuk melakukannya,” sebuah perubahan signifikan dalam sikap Prancis mengenai perannya dalam genosida.
Selama kunjungannya ke Rwanda pada 2021, Macron mengakui “tanggung jawab” Prancis dalam genosida tersebut.
Kagame mengkritik negara-negara yang menawarkan tempat berlindung yang aman bagi tersangka genosida, baik di kawasan maupun di luar kawasan.
Menurut Unit Pelacakan Buronan Genosida Rwanda, lebih dari 1.000 tersangka telah mengungsi di berbagai negara, termasuk Prancis, Amerika Serikat, Belanda, dan Kanada.
Mantan Presiden AS Bill Clinton, yang mulai menjabat pada 1994, memimpin delegasi AS ke acara tersebut.
Pada 6 April 1994, sebuah pesawat yang membawa mantan Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana dan Presiden Cyprien Ntaryamira dari Burundi jatuh akibat serangan roket, menewaskan semua orang di dalamnya. Kecelakaan pesawat tersebut memicu pembantaian yang dilakukan oleh ekstremis Hutu.
Pilihan Editor: Rwanda Peringati 25 Tahun Genosida yang Tewaskan 800 Ribu Orang
ANADOLU