Prasangka di Masa Orde Baru
Prasangka terhadap etnis Cina memang mengakar jauh sejak zaman kolonialisme. Namun di masa Orde Baru prasangka ini memasuki fase baru terkait meletusnya peristiwa G30S.
Pada kurun waktu tahun 1960-an terjadi beberapa kerusuhan dengan korban dari etnis Cina karena dianggap mendukung komunisme, salah satunya yaitu peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat.
Setelah Soeharto berkuasa, pemerintah Orde Baru kemudian merepresi besar-besaran masyarakat dengan latar belakang etnis Cina. Segala hal yang berbau Cina seperti tulisan, nama orang dan perayaan kebudayaan dilarang dirayakan.
Orang-orang dengan latar belakang etnis Cina pun tidak bisa berkarir di bidang pemerintahan dan politik.
Sebagai akibatnya, banyak dari mereka kemudian memutuskan untuk berdagang dan pada akhirnya dituduh menciptakan kesenjangan ekonomi yang memicu kerusuhan rasial.
Hubungan Mencair Kembali
Tepatnya pada 24 Februari 1989, ketika Presiden Soeharto bertemu Menteri Luar Negeri Cina saat itu Qian Qichen, dalam upacara pemakaman Kaisar Hirohito di Tokyo, dibahaslah kemungkinan normalisasi hubungan kedua negara yang tengah membeku.
Pembahasan dilanjutkan dalam pertemuan Menlu Ali Alatas dan Qian Qichen pada 4 Oktober 1989 di Tokyo. Hasilnya, pada 3 Juli 1990 kedua menlu menandatangani Komunike Bersama "The Resumption of The Diplomatic between The Two Countries" di Beijing, diikuti kunjungan Perdana Menteri Li Peng ke Indonesia sekaligus menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman Pemulihan Hubungan Diplomatik kedua negara pada 8 Agustus 1990.
Pada era Soeharto, normalisasi hubungan Indonesia-Cina pada awal 1990-an amat bernilai bagi Cina, yang saat itu tengah dikecam Barat setelah peristiwa Tiananmen.
Presiden Soeharto pun melakukan kunjungan balasan pada 14-18 November 1990, dan menyaksikan penandatanganan pembentukan Komisi Bersama Bidang Ekonomi, Perdagangan, dan Kerja Sama Teknik.
Normalisasi hubungan tersebut kemudian secara bertahap membuka hubungan ASEAN dan Cina, hingga akhirnya pada 1996 Cina menjadi mitra dialog penuh ASEAN.
Bagi Indonesia, dalam sektor ekonomi, hubungan dengan Cina menjadi sangat penting, terutama setelah negara ini dihantam badai krisis finansial Asia pada 1997.
Di lain pihak, era tersebut menjadi saksi perekonomian Cina, pasca reformasi ekonomi yang dilakukan oleh Deng Xiaoping pada 1978, hingga tinggal landas dengan pertumbuhan ekonomi dua digit tiap tahun.