TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Rusia atau Kremlin meminta pemilik Telegram Pavel Durov untuk lebih berhati-hati, setelah aplikasi pesan tersebut diduga digunakan untuk membantu merekrut orang-orang bersenjata yang menyerang gedung konser Balai Kota Crocus di luar Moskow pekan lalu.
Saat ini tidak ada rencana untuk memblokir Telegram di Rusia, kata Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov, namun Durov harus lebih memperhatikan fakta bahwa jejaring sosial ini telah digunakan oleh teroris.
“Tidak, tidak ada rencana seperti itu saat ini,” kata Peskov kepada saluran SHOT Telegram ketika ditanya apakah Rusia berencana memblokir Telegram, dikutip oleh TASS pada Jumat, 28 Maret 2024.
“Tetapi, tentu saja, kami mengharapkan Pavel Durov untuk lebih memperhatikan fakta bahwa sumber daya unik dan fenomenal ini, yang telah matang di hadapan generasi kita, semakin menjadi alat di tangan para teroris – digunakan untuk tujuan teroris,” katanya.
Telegram sekarang berbasis di Dubai sejak 2017, didirikan oleh Durov yang meninggalkan Rusia pada 2014 setelah kehilangan kendali atas perusahaan sebelumnya. Mengutip majalah Forbes, dia menolak bekerja sama dengan dinas rahasia Rusia dan memberikan data terenkripsi dari pengguna jejaring sosial pertamanya.
Pria berusia 39 tahun itu merupakan kelahiran Rusia yang tinggal di Dubai dan memiliki kewarganegaraan ganda yaitu Uni Emirat Arab dan Prancis. Durov diperkirakan memiliki kekayaan US$15,5 miliar oleh Forbes.
Aplikasinya, yang gratis untuk digunakan, bersaing dengan aplikasi pesan lainnya seperti WhatsApp milik Facebook. Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, Telegram telah menjadi sumber informasi penting namun juga tempat tersebarnya disinformasi terkait konflik tersebut.
Kantor berita pemerintah Rusia RIA mengatakan para penyerang gedung konser Moskow direkrut melalui saluran radikal di Telegram milik kelompok Negara Islam Khorasan (ISIS-K).
Meski ISIS-K telah mengklaim tanggung jawab, Presiden Rusia Vladimir Putin menuding Ukraina terlibat dalam penembakan. Dalam pidatonya pada akhir pekan lalu, ia berkata bahwa para pelaku mencoba bergerak menuju Ukraina, di mana telah dipersiapkan “celah” agar mereka dapat melintasi perbatasan.
Kremlin juga mengaku tidak percaya bahwa ISIS-K merupakan pelaku penembakan tersebut. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova mengatakan pada Rabu, 27 Maret 2024 bahwa “sangat sulit dipercaya” ISIS-K memiliki kapasitas untuk melancarkan serangan tersebut, yang menewaskan setidaknya 143 orang.
REUTERS | TASS
Pilihan editor: Nahkoda Sempat Minta Bantuan sebelum Kapal Menabrak Jembatan Francis Scott Key