TEMPO.CO, Jakarta - Pantai Gaza dipenuhi anak-anak dan keluarga-keluarga yang bermain. Mereka meninggalkan tempat pengungsian yang sempit untuk istirahat sejenak selama gencatan senjata Israel Hamas sementara.
Saat anak-anak bermain ombak kecil, orang dewasa yang bertelanjang kaki menyaksikan dari pantai. Asmaa al-Sultan, seorang perempuan pengungsi dari Gaza utara, duduk di atas pasir sambil memeluk ibunya. Wanita tua itu menangis pelan.
Lebih dari 30 anggota keluarga al-Sultan berlindung di sebuah sekolah PBB di kota Deir Al-Balah bersama ratusan pengungsi lainnya. “Kami datang ke pantai untuk beristirahat sejenak, untuk melepaskan diri dari perasaan sesak di sekolah dan dari lingkungan yang menyedihkan dan tercemar yang kami alami,” kata Asmaa.
“Orang-orang datang ke pantai untuk bersantai, berenang, untuk anak-anak mereka bersenang-senang, mereka membawa makanan. Tapi kami sangat tertekan. Kami berada di pantai tapi kami ingin menangis.”
Ratusan ribu orang telah meninggalkan rumah mereka di Gaza utara, yang terkena dampak terberat serangan militer Israel, untuk mencari perlindungan di tenda, sekolah atau rumah teman dan kerabat di bagian selatan jalur tersebut. Kondisi yang sangat melelahkan di tenda-tenda dan sekolah. Kamp-kamp pengungsi penuh sesak oleh penghuni, toilet dan kamar mandi kurang, antrean panjang setiap hari untuk mendapatkan jatah makanan dan air yang sedikit, diperparah oleh dampak psikologis dari pemboman dan pengungsian.
Gubuk nelayan berderet di pantai di Deir Al-Balah di bagian belakang, hingga ke dasar lereng yang dipenuhi sampah. Beberapa pengungsi tinggal di gubuk-gubuk dan pakaian dijemur dengan tali di luar.
Waleed al-Sultan, salah satu kerabat Asmaa yang lebih muda, sedang mencoba melepaskan jaring di dekat gubuk. Dia bersiap untuk pergi memancing dengan perahu kecil, berharap gencatan senjata tak membuatnya bahaya.
“Saya tidak membawa apa-apa ketika saya mengungsi, jadi saya pikir saya akan mencari nafkah dari memancing, namun penjaga (Israel) menghentikan saya dan mulai menembaki kami,” katanya.
Beberapa pengungsi memanfaatkan kesempatan gencatan senjata yang berlangsung selama empat hari, yang dimulai pada hari Jumat, untuk memeriksa rumah mereka. Ada pula yang terlalu takut untuk kembali ke wilayah utara, yang sebagian besar telah menjadi tanah tandus.
“Kami takut dengan berakhirnya empat hari ini. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi pada kami selanjutnya,” kata Hazem al-Sultan, suami Asmaa.
Dia mengatakan mereka dan keluarganya tidak berani pergi ke utara karena takut ditembak oleh tentara Israel. Mereka jugatidak tahu bagaimana kondisi rumahnya. “Kami takut terhadap anak-anak kami, terhadap diri kami sendiri, dan tidak tahu harus berbuat apa,” katanya.
Gencatan senjata Israel Hamas yang semula berlangsung empat hari, telah diperpanjang dua hari. Dalam perundingan yang dimediasi oleh Qatar, kesepakatan gencatan senjata Israel Hamas telah diambil antara kedua pihak.
“Kesepakatan telah dicapai untuk memperpanjang jeda kemanusiaan selama dua hari tambahan di Jalur Gaza,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar dalam sebuah postingan di platform media sosial X.
Belum ada komentar langsung dari Israel. Seorang pejabat Gedung Putih mengonfirmasi bahwa kesepakatan telah tercapai.
Hamas juga mengatakan pihaknya telah menyetujui perpanjangan gencatan senjata selama dua hari. Negosiasi ditengahi oleh dengan Qatar dan Mesir. “Kesepakatan telah dicapai dengan saudara-saudara di Qatar dan Mesir untuk memperpanjang gencatan senjata kemanusiaan sementara selama dua hari lagi, dengan ketentuan yang sama seperti gencatan senjata sebelumnya,” kata seorang pejabat Hamas melalui panggilan telepon.
Perang dengan Israel meletus sejak Hamas melakukan serangan secara mendadak pada 7 Oktober lalu. Sebannyak 1.200 orang Israel telah tewas. Hamas juga menyandera sekitar 240 orang Israel di Gaza.
Menanggapi serangan itu, Israel telah membombardir daerah kantong tersebut dan melancarkan serangan darat di utara. Sekitar 14.800 warga Palestina telah terbunuh, kata otoritas kesehatan Gaza, dan ratusan ribu lainnya mengungsi.
REUTERS
Pilihan editor: Rumah Sakit di Gaza Belum Dapat Bahan Bakar Meski Ada Jeda Kemanusiaan