TEMPO.CO, Jakarta - Warga di Jalur Gaza menderita kelaparan karena minimnya bantuan pangan yang masuk. Sejumlah besar warga hanya makan sekali sehari. Infrastruktur pangan di Gaza dinyatakan tidak lagi berfungsi.
Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa WFP mengatakan, toko-toko di wilayah kantong pesisir tersebut hanya 25 persen yang tetap buka. Sementara, toko lainnya kehabisan bahan makanan penting, dan pasar lokal telah ditutup sepenuhnya.
Makanan dalam jumlah kecil yang dapat ditemukan dijual dengan harga yang sangat tinggi, dan tidak bisa dikonsumsi langsung tanpa kemungkinan memasak, sehingga memaksa beberapa orang untuk bertahan hidup hanya dengan makan satu kali sehari. Beberapa orang terpaksa hanya mengonsumsi makanan kaleng, atau bahkan bawang dan terong mentah.
“Runtuhnya rantai pasok pangan merupakan sebuah titik balik bencana dalam situasi yang sudah mengerikan, di mana masyarakat telah kehilangan kebutuhan dasar mereka,” kata Perwakilan dan Direktur WFP di Palestina, Samer Abdeljaber, seperti disiarkan Reuters, Jumat, 17 November 2023.
Jalur Gaza tengah menghadapi krisis pangan dan kelaparan yang meluas karena hampir seluruh penduduk kekurangan makanan di tengah infrastruktur pangan yang runtuh, kata WFP.
Laporan tersebut mencatat hanya sepuluh persen pasokan makanan penting masuk ke Gaza sejak awal pertempuran terbaru antara Israel dan Hamas pada 7 Oktober 2023, saat kelompok militan tersebut menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera sekitar 240 lainnya.
Sementara serangan Israel telah menewaskan setidaknya 11.470 orang di Gaza sejak itu.
“Persediaan makanan dan air hampir tidak ada di Gaza dan hanya sebagian kecil dari kebutuhan datang melalui perbatasan. Dengan semakin dekatnya musim dingin, tempat penampungan yang tidak aman dan penuh sesak, serta kurangnya air bersih, warga sipil menghadapi kemungkinan kelaparan,” kata Direktur Eksekutif WFP, Cindy McCain.
Ia mengungkapkan tidak ada cara untuk memenuhi situasi kelaparan saat ini hanya dengan satu perbatasan yang beroperasi, yaitu penyeberangan Rafah antara Gaza dengan Mesir. Pembukaan jalur lain yang aman untuk akses bantuan kemanusiaan merupakan satu-satunya harapan, katanya.
Awal pekan ini, WFP mengkonfirmasi penutupan toko roti terakhir yang bermitra dengan badan tersebut lantaran kekurangan bahan bakar. Krisis bahan bakar telah memicu terhentinya produksi roti di 130 toko roti di Gaza. Sebagai makanan pokok masyarakat Gaza, roti telah menjadi langka atau bahkan tidak ada.
Kekurangan bahan bakar juga melumpuhkan distribusi bantuan kemanusiaan, termasuk pengiriman bantuan makanan. Bahkan ketika truk tiba dari Mesir dan menurunkan pasokan di Gaza pada Selasa lalu, bantuan tidak dapat menjangkau warga sipil di tempat penampungan karena tidak cukupnya bahan bakar untuk kendaraan distribusi.
WFP melaporkan, dari 1.129 truk yang memasuki Gaza sejak pembukaan perbatasan Rafah pada 21 Oktober 2023, hanya 447 truk yang membawa pasokan makanan.
Meskipun menyambut baik peningkatan jumlah truk yang menyeberang ke Gaza, WFP menyayangkan volume yang masih belum mencukupi.
“Makanan yang masuk ke Gaza hanya cukup untuk memenuhi 7 persen dari kebutuhan kalori minimum harian masyarakat,” kata WFP.
REUTERS
Pilihan Editor Setelah Presiden Assad Jadi Buron Prancis, Mahkamah Internasional Hukum Suriah dalam Kasus Penyiksaan