TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Inggris menuduh kepala polisi London pada Kamis, 9 November 2023 atas bias pro-Palestina karena kepolisian tidak melarang masyarakat berunjuk rasa pada akhir pekan nanti untuk menunjukkan solidaritas terhadap Palestina. Karenanya, pemerintah menuduh kepolisian telah mengambil sikap yang lebih lunak terhadap kelompok sayap kiri.
Perseteruan dipicu oleh rencana unjuk rasa di London yang bertepatan dengan Hari Gencatan Senjata pada Sabtu, 11 November 2023. Perdana Menteri Rishi Sunak mengatakan ia akan meminta pertanggungjawaban pasukan kepolisian atas masalah apa pun yang muncul, setelah mereka mengatakan tidak ada cukup alasan untuk melarang unjuk rasa tersebut.
Sejak kelompok militan Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober dan Israel membombardir Jalur Gaza selama lebih dari sebulan sebagai balasan, London telah menjadi tempat terjadinya demonstrasi terbesar di Eropa. Puluhan ribu pengunjuk rasa berkumpul setiap akhir pekan untuk menuntut diakhirinya pengeboman Israel di Gaza.
Polisi mengatakan mereka memperkirakan akan terjadi demonstrasi besar-besaran pada Sabtu, 11 November, bertepatan dengan peringatan berakhirnya Perang Dunia Pertama. Namun, mereka mengungkapkan tidak ada rencana protes pada 12 November yaitu acara resmi Remembrance Sunday — untuk memperingati kontribusi militer Inggris dan Persemakmuran dalam dua Perang Dunia dan konflik-konflik selanjutnya — diadakan di pusat kota London.
Sunak menyebut unjuk rasa tersebut tidak sopan, namun komisaris polisi Mark Rowley, mengatakan bahwa larangan apa pun terhadap unjuk rasa tersebut memerlukan informasi intelijen mengenai ancaman kekacauan yang serius, sementara larangan semacam itu belum diterapkan selama satu dekade.
Menteri Dalam Negeri Suella Braverman menyebut rencana demonstrasi besar-besaran tersebut sebagai “pawai kebencian”. Menulis di The Times pada Kamis, ia menyebut hal itu sebagai “penegasan keunggulan kelompok tertentu - khususnya kelompok Islam” dan unjuk kekuatan.
Ia mengatakan terdapat persepsi bahwa perwira polisi senior bermain favoritisme jika menyangkut pengunjuk rasa, memberikan contoh protes yang diberi izin dan yang tidak.
“Selama masa Covid, mengapa para penentang lockdown tidak diberikan izin oleh polisi ketertiban umum, namun demonstran Black Lives Matter tetap diperbolehkan, diizinkan untuk melanggar peraturan dan bahkan disambut dengan petugas yang berlutut?” ujarnya.
Mendagri tersebut, yang dipandang sebagai calon pemimpin Partai Konservatif di masa depan, mengatakan meskipun kebebasan berpendapat dan berkumpul adalah tradisi yang sudah lama dianut di Inggris, ada “perdebatan” mengenai apakah beberapa pertunjukan publik terlalu menyinggung sehingga harus dilarang.
Mantan perwira senior di Met Police London, Neil Basu, mengatakan kritik politik justru dapat meningkatkan kemungkinan munculnya pengunjuk rasa tandingan, sehingga meningkatkan risiko kekerasan.
“Agak ironis bahwa semua retorika mengenai demonstrasi ini mungkin justru meningkatkan kasus intelijen, sehingga dilarang,” katanya kepada Radio LBC.
Hampir 200 orang telah ditangkap sejak serangan 7 Oktober karena kejahatan rasial di Inggris, termasuk pelanggaran antisemitisme dan Islamofobia, serta pelanggaran ketertiban umum yang sebagian besar bersifat rasis dan terkait dengan protes.
REUTERS
Pilihan Editor: Eks PM Israel Sebut Netanyahu Salah Perhitungan Soal Serangan Hamas