TEMPO.CO, Jakarta - Badan pengungsi PBB UNHCR dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengatakan keputusan Pakistan memulangkang warga Afghanistan menciptakan “risiko perlindungan serius” bagi perempuan dan anak perempuan.
Pembatasan di Afghanistan, khususnya terhadap perempuan untuk belajar di sekolah dan bekerja, menyebabkan menyusutnya kesempatan kerja bagi perempuan di sana.
Meski Pakistan menyatakan tidak akan menargetkan warga Afghanistan yang memiliki status hukum, banyak warga Afghanistan yang memiliki dokumen lengkap juga menjadi sasaran, menurut aktivis migran.
Data UNHCR menunjukkan bahwa 14.700 warga Afghanistan yang terdokumentasi meninggalkan Pakistan pada 18 Oktober 2023, lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun lalu yang berjumlah 6.039 orang.
Badan tersebut mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa 78 persen warga Afghanistan yang kembali baru-baru ini berbicara dengan mereka menyebutkan ketakutan akan penangkapan di Pakistan sebagai alasan kepergian mereka.
Ada lebih dari 2,2 juta migran Afghanistan di Pakistan dengan beberapa bentuk dokumentasi yang diakui oleh pemerintah dengan hak tinggal sementara.
Sekitar 1,4 juta dari mereka memegang kartu Bukti Pendaftaran (PoR) yang habis masa berlakunya pada tanggal 30 Juni, sehingga menjadikan mereka rentan. Islamabad mengatakan pihaknya tidak akan mengambil tindakan terhadap orang-orang yang kartu identitasnya tidak valid, namun Abbas mengatakan kepada Reuters bahwa pelecehan yang dilakukan polisi meningkat sejak adanya ancaman pengusiran.
Lebih dari selusin migran yang dihubungi Reuters menguatkan klaim tersebut, yang juga diulangi oleh diplomat Taliban di Pakistan.
Inspektur Polisi Karachi Timur Uzair Ahmed mengatakan bahwa meskipun mungkin ada "satu atau dua" kasus pelecehan, namun pelecehan tersebut tidak bersifat sistemik dan pelanggarnya akan diselidiki.
Banyak warga Afghanistan yang memiliki status hukum mengatakan kepada Reuters bahwa mereka merasa terpaksa meninggalkan rumah mereka karena takut dipisahkan dari anggota keluarga mereka tanpa dokumen.
Hajira, seorang janda berusia 42 tahun di Sohrab Goth, mengatakan kepada Reuters bahwa dia berhak untuk tetap tinggal di Pakistan, begitu pula dua dari empat putranya. Dua lainnya tidak.
Khawatir berpisah dari anak-anaknya, dia berencana untuk pergi bersama putra-putranya dan keluarga mereka sebelum batas waktu berakhir.
Majida, 31 tahun, yang lahir di Pakistan, tinggal bersama suami dan keenam anaknya di sebuah kompleks apartemen di Sohrab Goth, daerah kumuh di pinggiran kota yang jalan-jalan sempitnya dipenuhi tumpukan sampah.
Dia mengatakan keluarganya memiliki kartu PoR namun masih menjadi sasaran pelecehan: saudara ipar dan keponakannya ditahan oleh pihak berwenang setempat selama beberapa jam sebelum dibebaskan.
Ketika Majida jatuh sakit pada awal bulan Oktober, suaminya menolak membantunya mengambil obat di apotek terdekat karena takut ditahan.
“Kami tidak memiliki rumah atau pekerjaan (di Afghanistan),” katanya. “Jelas kami menganggap Pakistan sebagai rumah kami, kami sudah lama tinggal di sini.”
Kembali ke Afghanistan, masuknya migran dan pengungsi yang kembali telah memberikan tekanan pada sumber daya yang sudah terbatas akibat sanksi internasional terhadap sektor perbankan dan pemotongan bantuan asing setelah pengambilalihan Taliban.
Kementerian Pengungsi Afghanistan mengatakan pihaknya bermaksud mendaftarkan pengungsi yang kembali dan kemudian menempatkan mereka di kamp-kamp sementara. Pemerintahan Taliban mengatakan akan berusaha mencarikan pekerjaan bagi para pengungsi yang kembali.
Tingkat pengangguran meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode sebelum pengambilalihan Taliban hingga Juni 2023, menurut Bank Dunia. Badan-badan PBB mengatakan sekitar dua pertiga penduduknya membutuhkan bantuan kemanusiaan.
"Kami adalah tamu di sini,” kata Muhammad, 18 tahun, sesaat sebelum dia menaiki bus Azizullah kembali ke Afghanistan. "Anda harus berpikir seperti ini: bahwa negara ini mengusir tamu-tamunya."
REUTERS
Pilihan Editor Pejabat Malaysia Meninggal saat Mendaki Everest