TEMPO.CO, Jakarta - Perempuan Islandia melakukan mogok kerja 24 jam, Selasa, 24 Oktober 2023, karena ketidaksetaraan gender, termasuk perdana menteri, yang mengatakan perjuangan untuk perlakuan setara berjalan terlalu lambat di dalam dan luar negeri.
Di negara kepulauan kecil tersebut, sekolah dan perpustakaan ditutup atau dioperasikan dengan jam terbatas karena staf perempuan tinggal di rumah, sementara rumah sakit mengatakan mereka hanya akan menangani kasus-kasus darurat.
Ikut serta dalam protes tersebut, Perdana Menteri Katrin Jakobsdottir mengatakan dia tidak akan masuk kerja pada Selasa.
“Dilihat dari seluruh dunia, dibutuhkan waktu 300 tahun untuk mencapai kesetaraan gender,” kata Jakobsdottir kepada stasiun radio publik Ras 1.
Pemogokan ini dilakukan untuk memprotes kesenjangan upah jika dibandingkan dengan laki-laki dan menentang kekerasan berbasis gender, dan untuk menyoroti pekerjaan tidak berbayar seperti penitipan anak yang paling sering dilakukan oleh perempuan, kata penyelenggara.
Islandia dianggap sebagai salah satu negara paling progresif di dunia dalam hal kesetaraan gender dan menduduki puncak indeks kesenjangan gender Forum Ekonomi Dunia selama 14 tahun berturut-turut.
Namun di beberapa industri dan profesi, perempuan memperoleh penghasilan setidaknya 20% lebih rendah dibandingkan laki-laki Islandia, menurut Statistik Islandia.
Empat puluh persen perempuan Islandia mengalami kekerasan berbasis gender dan seksual dalam hidup mereka, demikian temuan sebuah penelitian di Universitas Islandia.
“Kami berusaha untuk menarik perhatian pada fakta bahwa kami disebut sebagai surga kesetaraan, namun masih terdapat kesenjangan gender dan kebutuhan mendesak untuk mengambil tindakan,” kata Freyja Steingrimsdottir, penyelenggara aksi mogok dan direktur komunikasi Federasi Pekerja Publik Islandia.
Pemogokan Selasa, dengan slogan "Apakah Anda menyebut ini kesetaraan?", yang terdiri dari perempuan Islandia dan individu non-biner, adalah pemogokan sehari penuh pertama sejak protes perempuan perdana pada 1975.
“Profesi yang dipimpin perempuan seperti layanan kesehatan dan pengasuhan anak masih kurang dihargai dan dibayar jauh lebih rendah,” kata Steingrimsdottir kepada Reuters, Senin.
REUTERS
Pilihan Editor: Masih Buta soal Keberadaan Sandera, Militer Israel Sebar Selebaran di Gaza