TEMPO.CO, Jakarta - Pekan lalu, Badai Daniel menghantam Libya, mendatangkan malapetaka di kota Derna di bagian timur, tempat dua bendungan tua yang terbengkalai jebol di hulu, melepaskan sekitar 30 juta meter kubik (8 miliar galon) air, dan melenyapkan seluruh lingkungan di kota tersebut, rumah bagi sekitar 100.000 orang.
Namun krisis mematikan kemungkinan masih berlanjut, karena organisasi-organisasi kemanusiaan mengeluarkan peringatan kritis bahwa banjir Libya mungkin telah menyingkap ranjau darat yang belum meledak dan senjata-senjata lain yang tertinggal dari perang di negara tersebut.
Sejarah yang eksplosif
Libya, negara berpenduduk tujuh juta orang, memiliki perpecahan politik yang mendalam. Negara ini tidak punya pemerintahan pusat yang kuat dan sering terlibat konflik sejak revolusi menggulingkan penguasa lama Muammar Gaddafi pada 2011.
Sejak itu, persenjataan besar-besaran di negara ini bebas untuk dijarah, dengan puluhan bunker yang terletak di lingkungan pemukiman dan lokasi tidak aman lainnya tidak dijaga sama sekali. Sumber anonim yang mengetahui persenjataan Libya mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dua depot, khususnya, menjadi sasaran kelompok bersenjata. Satu, yang dikenal sebagai Rumah Penyimpanan 3 menyimpan bahan peledak plastik Semtex, dan yang lainnya, yang dikenal sebagai Rumah Penyimpanan 5 menyimpan rudal antipesawat.
“Tiba-tiba, semua jenis kelompok [di Libya] menggunakan senjata tingkat militer,” katanya, yang merupakan tantangan besar bagi Dewan Transisi Nasional (NTC) di negara tersebut ketika mereka berjuang untuk menegakkan ketertiban pasca-2011.
Keadaan memburuk ketika negara kaya minyak ini terpecah menjadi dua pemerintahan yang saling bersaing di wilayah timur dan barat pada 2014, pemerintahan yang diakui PBB di ibu kota, Tripoli, dan pemerintahan yang berbasis di wilayah timur yang kini dilanda bencana, dan konflik pun dimulai antara kedua pemerintahan di negara itu.
Dalam laporan yang diterbitkan oleh Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), tercatat peningkatan drastis jumlah kecelakaan ranjau darat dan persenjataan yang tidak meledak (UXO) sejak permusuhan pascaperang berhenti pada paruh kedua 2020.
Pada 2022, diperkirakan terdapat 100.000 ton amunisi di bawah reruntuhan di beberapa wilayah Libya, termasuk Sirte, Tawergha, Derna dan Benghazi, wilayah yang semuanya terkena dampak konflik selama dekade sebelumnya, tambah OCHA.
Menurut Pusat Pekerjaan Ranjau Libya (LibMAC), 162 kecelakaan ranjau dan sisa bahan peledak Perang (ERW) dilaporkan di seluruh Libya dari Mei 2020 hingga Maret 2022, mengakibatkan total 329 korban jiwa – 132 tewas dan 197 luka-luka – 76 persen di antaranya adalah warga sipil.