TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin, Jumat, 15 September 2023, menentang penggunaan ganja untuk rekreasi, namun mengatakan pemerintahannya akan melanjutkan kebijakan yang mendukung penggunaan ganja untuk keperluan medis.
Thailand menjadi negara Asia Tenggara pertama yang melakukan dekriminalisasi ganja pada tahun lalu, namun dalam waktu seminggu setelah langkah tersebut, Thailand mengeluarkan peraturan yang terburu-buru dan sedikit demi sedikit untuk mengekang potensi penggunaannya yang tidak terkendali, termasuk oleh anak-anak.
Baca juga:
“Kebijakan ganja akan menjadi ganja medis. Mengenai penggunaan rekreasi, saya tidak setuju dengan itu,” katanya dalam wawancara dengan situs berita Thailand, The Standard.
Partai Pheu Thai Srettha memimpin pemerintahan koalisi 11 partai, yang mulai berkuasa pada Agustus. Mitra terbesarnya, partai Bhumjaithai, berhasil mempelopori dekriminalisasi ganja di bawah pemerintahan terakhir.
Kedua partai telah mengatakan mereka hanya mendukung penggunaan untuk pengobatan.
Industri ganja di negara ini diproyeksikan bernilai hingga $1,2 miliar dalam beberapa tahun ke depan, dengan ribuan bisnis bermunculan di tempat-tempat wisata.
“Penyalahgunaan narkoba adalah masalah besar bagi negara yang kurang ditangani… ganja harus digunakan secara medis,” kata Srettha.
Awal pekan ini, Srettha, yang juga menjabat sebagai Menteri Keuangan, meluncurkan kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan konsumsi dan belanja ketika pemulihan melambat di negara dengan ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara.
“Ini adalah kebijakan yang ditargetkan, belanja dalam negeri akan meningkat pesat,” katanya, mengacu pada kebijakan khasnya berupa pemberian 10.000 baht (sekitar Rp 4,3 juta) melalui dompet digital kepada semua warga Thailand yang berusia di atas 16 tahun.
Bantuan senilai 560 miliar baht diharapkan akan disalurkan pada Februari.
Srettha Thavisin juga mengatakan dalam wawancara bahwa dia berencana menarik investor asing pada pertemuan dengan para pemimpin bisnis di New York ketika dia menghadiri pertemuan Majelis Umum PBB akhir bulan ini.
REUTERS
Pilihan Editor: Banyak Warganya Jadi Tentara Bayaran Rusia, Kuba: Itu Perdagangan Manusia