TEMPO.CO, Jakarta - IndonesiaLeaks, sebuah platform jurnalisme publik, melakukan konsorsium bersama jaringan pers global Forbidden Stories serta Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) berkaitan dengan liputan investigasi spyware Pegasus asal Israel. Pasalnya, aplikasi pengintai itu sudah menimbulkan keresahan di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Riwayat penggunaan Pegasus di Indonesia sudah berjalan sejak 2017 ketika Polda Metro Jaya mendatangkan teknologi tersebut dengan nominal Rp 99 miliar. Pada 2018, Baintelkam Mabes Polri juga mengeluarkan dana sebesar Rp 149 miliar untuk Pegasus.
Sementara pada 30 September 2022, reuters.com turut melaporkan bahwa belasan pejabat senior pemerintah dan militer Indonesia diduga menjadi sasaran intai Pegasus, salah satunya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Walau dugaan itu telah dibantah oleh pihak internal kementerian, ini tetap menjadi kontroversi sebagai dampak buruk penggunaan spyware di suatu negara.
Juga terdeteksi di Meksiko, Amerika Serikat (AS), Ghana, Thailand, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kazakhstan, Bahrain, India, Maroko, Rwanda, hingga Azerbaijan—bagaimana latar belakang Pegasus dan apa saja kasusnya?
Mengenal Spyware Pegasus
Pegasus adalah spyware alias perangkat lunak mata-mata berbasis seluler yang dirancang oleh perusahaan siber asal Israel, NSO Group. Tujuannya adalah untuk menyusup ke perangkat iOS, Android, Blackberry, Windows, maupun Symbian dan mengumpulkan informasi secara diam-diam.
Menggunakan metode “zero-click”, spyware Pegasus dapat beroperasi di gadget target walaupun korban tidak melakukan tindakan apa pun. Kemampuan pengumpulan datanya sangat luas: Mulai dari membaca teks dan email, memantau penggunaan aplikasi, melacak lokasi, hingga mengakses mikrofon dan kamera dari sebuah ponsel. Setelah melakukan itu semua, Pegasus hampir tidak meninggalkan jejak.
Melansir dari avast.com, Pegasus berpotensi menyebar melalui serangan phishing di mana korban dikirimi pesan teks berisi tautan yang tampak resmi. Jika target berhasil terpancing untuk mengklik tautan tersebut, smartphone mereka akan terinfeksi Pegasus.
Data dan informasi yang dikumpulkan sangat mungkin untuk masuk ke server cloud NSO Group walau pihak perusahaan telah membantah hal itu. Menurut reuters.com, NSO Group mengaku bahwa mereka tidak mengoperasikan Pegasus, tidak memiliki visibilitas terhadap penggunaannya, dan tidak mengumpulkan informasi tentang pelanggan.
Sejarah Singkat Pegasus
Pegasus mulanya dikembangkan secara komersial pada 2010 untuk memerangi teror dan kejahatan seperti pencucian uang, prostitusi, dan narkoba. NSO Group—selaku anak perusahaan Q Cyber Technologies Ltd.—mengklaim produknya dijual eksklusif kepada lembaga keamanan dan penegak hukum pemerintah, menurut britannica.com.
Namun, spyware tersebut justru disalahgunakan sebagai senjata dunia maya dalam serangan spionase yang kontroversial terhadap tokoh politik, jurnalis, aktivis, serta pemimpin masyarakat sipil lainnya. Ini menjadikan Pegasus sangat kontroversial.
Biaya operasionalnya juga sangat mahal. Ketika Pegasus mulai dikenal luas pada 2016, butuh $650.000 plus $500.000 dana persiapan untuk instalasi di 10 unit smartphone. Di tahun yang sama, seorang aktivis hak asasi manusia (HAM) di Uni Emirat Arab curiga dengan pesan teks yang ia terima dan meneruskannya ke laboratorium keamanan siber untuk dianalisis.
Meskipun jumlah pasti negara yang menggunakan Pegasus tidak diketahui (NSO Group merahasiakan daftar kliennya), laporan 2021 mengungkap ada sekitar 40 negara memiliki akses ke spyware dan individu di lebih dari 50 negara telah menjadi sasaran mata-mata.
Misalnya di Meksiko, Pegasus telah membantu penangkapan pemimpin kartel narkoba El Chapo pada 2016. Dua tahun kemudian, pemerintah Arab Saudi menggunakannya untuk melacak jurnalis Arab Saudi yang merupakan warga negara AS, Jamal Khashoggi. Beberapa bulan sebelum Khashoggi dibunuh pada 2018, Pegasus terhubung ke telepon sang istri.
Pemimpin pemerintah dan bisnis terkemuka lain telah menjadi target pengintaian Pegasus termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, serta eks CEO Amazon Jeff Bezos yang juga merupakan pemilik The Washington Post—tempat Khashoggi bekerja.
Masalah Etik
Seiring meningkatnya kekhawatiran global tentang privasi, spyware semacam Pegasus menarik perhatian yang lebih besar.
Pada 2019, Meta Platforms menggugat NSO Group berdasarkan Undang-Undang Penipuan dan Penyalahgunaan Komputer AS. Pada 2021, Apple juga menggugat, kemudian Presiden AS Joseph Biden memasukkan NSO Group ke dalam daftar hitam. Sempat mengelak, kata-kata pembelaan dari perusahaan tersebut ditolak oleh pengadilan pada Februari 2023.
Sejak 2021, Forbidden Stories dan Amnesty International juga terus memfokuskan perhatian global kepada Pegasus atas dugaan pelanggaran HAM yang disebabkannya di berbagai belahan dunia. Karena sangat sedikit peluang untuk memblokir atau mengatur penggunaan spyware, pemerintah negara—terutama rezim otoriter—terus menyalahgunakan Pegasus untuk mengintai oposisi, politisi, pengacara, bahkan jurnalis.
Pilihan editor: Fakta Spyware Pegasus Buatan Israel, Menargetkan Militer Indonesia
SYAHDI MUHARRAM