TEMPO.CO, Jakarta - selaku Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mencetuskan proposal perdamaian bagi Rusia-Ukraina. Melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dialog Shangri-La atau International Institute for Strategic Studies (IISS) selama dua hari di Singapura, Ketua Umum (Ketum) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu mengusulkan tiga solusi, salah satunya referendum.
Ia menjelaskan beberapa rencana, meliputi gencatan senjata dari Rusia dan Ukraina, zona demiliterisasi, hingga referendum oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memastikan objektivitas keinginan mayoritas penduduk di daerah bersengketa. Lantas, sebenarnya apa itu referendum?
Apa itu Referendum?
Dalam UU No. 5 Tahun 1985 Pasal 1, disebutkan bahwa referendum adalah kegiatan untuk jajak pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau ketidaksetujuan terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mengubah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun, peraturan tersebut telah dicabut berdasarkan UU No. 6 Tahun 1999.
Dilansir dari elections.nz, referendum merupakan pemungutan suara atas suatu pertanyaan. Tindakan tersebut dapat diadakan oleh warga negara maupun pemerintah. Untuk memulai prosesnya, masyarakat dapat mengajukan permohonan kepada Panitera DPR untuk meminta promosi petisi referendum.
Kemudian, Panitera akan mengiklankan pertanyaan yang diusulkan dan mengundang publik untuk menyampaikan pendapat. Proses tersebut biasanya memakan waktu sekitar 4 bulan. Setelah pertanyaan terakhir diputuskan, penyelenggara petisi diberi tenggat waktu 12 bulan untuk mengumpulkan dukungan atau tanda tangan terhadap referendum.
Apabila setidaknya 10 persen pemilih mendukung petisi, maka referendum dapat dilanjutkan. Aktivitas yang diprakarsai warga negara bisa dilaksanakan melalui pemungutan suara. Referendum juga mungkin akan menghasilkan debat publik, tetapi tidak bersifat mengikat. Sedangkan pemerintah, tidak wajib melaksanakan hasil akhir keputusan.
Referendum Rusia-Ukraina
Konflik Rusia dan Ukraina memanas sejak 20 Februari 2014, tetapi mencapai puncaknya pada 2022 lalu. Mengutip publikasi jurnal.unimor.ac.id, sesungguhnya warga negara Ukraina dari kawasan Krimea yang saat itu dipimpin oleh Victor Yanukovich pernah menyelenggarakan referendum. Hasilnya, 97,8 persen penduduk Krimea bergabung ke Rusia.
Krisis bermula ketika Presiden Victor Yanukovych menolak untuk menandatangani kerja sama perdagangan bebas dengan Uni Eropa. Ukraina memilih untuk menerima bantuan dari Federasi Rusia berupa pinjaman dana US$ 15 miliar dan potongan harga gas sebesar 30 persen. Kebijakan itu memicu protes besar-besaran dari negara yang sekarang dikepalai oleh Volodymyr Zelenskyy itu.
Akibat tidak bisa menjaga kestabilan negaranya, Victor mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan sementara oleh Olexander Turchynov. Kemudian, Petro Poroshenko ditunjuk mengatur pemerintahan Ukraina pada 2015 yang pro Uni Eropa. Kecenderungan tersebut menyebabkan Rusia merasa terancam dan menolak bergabungnya Ukraina ke NATO.
Perang Rusia-Ukraina berdampak pada kondisi ekonomi di Krimea pada saat itu. Lalu, penduduk setempat melaksanakan referendum dan mayoritas memilih untuk berpindah kewarganegaraan menjadi rakyat Rusia. Namun, banyak negara Barat yang menentang dan menyebutnya sebagai aneksasi atau agresi hasil intervensi Rusia.
Presiden Vladimir Putin membantah tuduhan dari PBB atas keterlibatan Rusia terhadap konflik Ukraina dan referendum Krimea. Konsekuensi yang diterima oleh Rusia ialah sanksi ekonomi dan politik dari berbagai negara, seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Norwegia, Georgia, Australia, Selandia Baru, dan Jepang.
Menurut Fransiskus Atok dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Timor, referendum dianggap sebagai cara damai dengan mengambil suara penduduk di suatu wilayah. Dari hasil referendum Krimea, maka Rusia disebut melakukan aneksasi seperti yang dituduhkan. Namun, keputusan penduduk Krimea tidak mendapatkan persetujuan dari negara induk, yaitu Ukraina.
MELYNDA DWI PUSPITA
Pilihan Editor: Rusia: Jet Tempur F-16 untuk Ukraina Bisa Bawa Senjata Nuklir