TEMPO.CO, Jakarta - Twitter mengatakan telah mengajukan keberatan atas perintah pengadilan yang meminta larangan akses ke beberapa akun dan twit di platform tersebut, setelah tetap menyediakan layanannya selama pemilu Turki akhir pekan meskipun ada peringatan dari pihak berwenang di Ankara.
Sabtu, sehari sebelum pemilihan presiden dan parlemen, Twitter mengatakan mereka telah membatasi akses ke beberapa konten di Turki agar platform tersebut tetap tersedia untuk para pengguna di sana.
Perintah pengadilan, yang dibagikan oleh Twitter, meminta larangan akses dengan alasan mengancam ketertiban umum dan keamanan nasional.
"Kami menerima apa yang kami yakini sebagai ancaman terakhir untuk membatasi layanan - setelah beberapa peringatan seperti itu," kata Twitter dalam pernyataan yang dikeluarkan Senin malam, 15 Mei 2023.
“Jadi agar Twitter tetap tersedia saat pemilu akhir pekan, kami mengambil tindakan atas empat akun dan 409 twit yang diidentifikasi oleh perintah pengadilan.”
Twitter mengatakan lima perintah pengadilan telah dikeluarkan terhadap mereka menyangkut tindakan-tindakan ini dan mereka telah mengajukan keberatan untuk empat di antaranya.
"Sementara salah satu keberatan kami telah ditolak, tiga di antaranya masih dalam peninjauan. Kami akan mengajukan keberatan kami untuk urutan kelima besok," tambahnya.
Presiden Tayyip Erdogan memimpin dengan nyaman setelah putaran pertama pemilihan presiden, dengan saingannya Kemal Kilicdaroglu menghadapi perjuangan berat untuk mencegah presiden memperpanjang kekuasaannya menjadi dekade ketiga dalam pemungutan suara putaran kedua pada 28 Mei.
Tahun lalu, Turki memberlakukan sebuah undang-undang yang mewajibkan perusahaan-perusahaan media sosial menghapus konten "disinformasi" dan membagikan data pengguna dengan pihak berwenang jika mereka mengepos konten yang merupakan kejahatan, termasuk informasi yang menyesatkan.
Perusahaan media sosial diharuskan menunjuk perwakilan Turki dan mereka menghadapi pembatasan bandwidth langsung hingga 90% setelah perintah pengadilan menyatakan perwakilan itu gagal memberikan informasi kepada pihak berwenang.
Aktivis dan tokoh oposisi telah menyuarakan keprihatinan atas undang-undang tersebut, dengan mengatakan hal itu dapat memperketat cengkeraman pemerintah di media sosial, salah satu benteng terakhir kebebasan berbicara dan perbedaan pendapat di Turki setelah 20 tahun pemerintahan Erdogan.
REUTERS
Pilihan Editor: Rusia Serang Kyiv Bertubi-tubi dengan Roket dan Drone