TEMPO.CO, Jakarta - Pertempuran terdengar di Ibu Kota Sudan, Khartoum pada Senin pagi, 1 Mei 2023, di tengah-tengah perpanjangan gencatan senjata. Saat bentrokan antara pasukan militer yang bertikai memasuki minggu ketiga, PBB memperingatkan ini sebagai titik puncak krisis kemanusian.
Kedua belah pihak yang berkonflik di Sudan, tentara dan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) sepakat pada Minggu, 30 April 2023, untuk memperpanjang gencatan senjata yang akan berakhir selama 72 ke depan lagi. Menurut RSF ini merupakan sebagai tanggapan atas seruan internasional, regional dan lokal.
Tentara mengatakan pihaknya berharap apa yang disebutnya "pemberontak" akan mematuhi kesepakatan itu, tetapi diyakini mereka bermaksud untuk melanjutkan serangan. Pada Senin pagi, suara artileri, serangan udara, dan tembakan antipesawat terdengar di ibu kota Khartoum.
Kementerian Kesehatan mengatakan, setidaknya 528 orang tewas dan 4.599 terluka dari konflik Sudan yang meletus sejak 15 April 2023. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah melaporkan jumlah kematian yang serupa tetapi percaya bahwa jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi.
Peraturan gencatan senjata yang banyak dilanggar telah memperdalam krisis kemanusiaan di Sudan. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat di PBB Martin Griffiths, sepertiga dari orang sudah bergantung pada beberapa bentuk bantuan.
"Skala dan kecepatan yang terjadi di Sudan belum pernah terjadi sebelumnya. Kami sangat prihatin dengan dampak jangka pendek dan jangka panjang pada semua orang di Sudan dan wilayah yang lebih luas," kata Griffiths.
Kekerasan telah melumpuhkan kota itu dan berisiko membangkitkan kembali perang di wilayah barat Darfur yang luas yang dilukai oleh konflik yang telah berlangsung selama dua dasawarsa, meskipun banyak janji gencatan senjata.
Bersama-sama, tentara dan RSF sebenarnya menggulingkan pemerintah sipil dalam kudeta Oktober 2021. Tetapi perebutan kekuasaan mereka telah menggagalkan transisi menuju demokrasi yang didukung internasional dan mengancam akan mengacaukan wilayah yang bergejolak.
Pemimpin Angkatan Darat Sudan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan mengatakan dia tidak akan pernah duduk dengan kepala RSF Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, juga dikenal sebagai Hemedti.
Hemedti mengatakan dia akan berbicara hanya setelah tentara menghentikan permusuhan.
Di Khartoum, tentara telah memerangi pasukan RSF yang bercokol di daerah pemukiman. Pertempuran sejauh ini telah melihat pasukan RSF yang lebih gesit menyebar ke seluruh kota karena tentara yang lebih siap mencoba untuk menargetkan mereka sebagian besar dengan menggunakan serangan udara dari pesawat tak berawak dan jet tempur.
Pemerintah asing, termasuk Indonesia, telah bergegas untuk mengevakuasi warga negara mereka di tengah peringatan bahwa negara itu dapat hancur.
REUTERS
Pilihan Editor: Presiden Uzbekistan Menangkan Referendum untuk Perpanjang Masa Jabatan