TEMPO.CO, Jakarta -Tentara dan pasukan paramiliter Sudan saling tuduh melanggar gencatan senjata baru pada hari Minggu dalam konflik bersenjata yang mengarah terjadinya perang saudara.
Ratusan orang tewas dan ribuan lainnya terluka sejak perebutan kekuasaan antara tentara Sudan dan Pasukan Pendukung Cepat (RSF) paramiliter meletus menjadi konflik pada 15 April.
Kedua belah pihak mengatakan perjanjian gencatan senjata formal yang berakhir Minggu tengah malam, 30 April 2023, akan diperpanjang selama 72 jam lagi, dalam sebuah langkah yang menurut RSF "sebagai tanggapan atas seruan internasional, regional dan lokal".
Tentara berharap RSF yang mereka sebut sebagai "pemberontak" akan mematuhi kesepakatan itu, meski mereka yakin pasukan paramiliter itu akan melanjutkan serangan. Kecurigaan serupa juga diungkapkan RSF.
Situasi di Khartoum, di mana tentara memerangi pasukan RSF yang bercokol di daerah pemukiman, relatif tenang pada Minggu pagi, setelah bentrokan hebat terdengar pada Sabtu malam di dekat pusat kota.
Tentara mengatakan pada hari Minggu bahwa pihaknya telah menghancurkan konvoi RSF yang bergerak menuju Khartoum dari barat. RSF mengatakan tentara telah menggunakan artileri dan pesawat tempur untuk menyerang posisinya di sejumlah daerah di provinsi Khartoum.
Dalam upaya meningkatkan pasukannya, tentara mengatakan pada hari Sabtu bahwa Polisi Cadangan Pusat telah mulai dikerahkan di Khartoum selatan dan akan dikerahkan secara bertahap di daerah lain di ibu kota.
Polisi Sudan mengatakan bahwa pasukan telah dikerahkan untuk melindungi pasar dan properti yang menjadi sasaran penjarahan. RSF pada hari Sabtu memperingatkan polisi agar tidak terlibat dalam pertempuran.
Pasukan itu adalah divisi besar dan bersenjata lengkap dari kepolisian Sudan yang memiliki pengalaman berperang dari konflik di wilayah barat Darfur dan di Pegunungan Nuba di Sudan selatan.
Pada Maret 2022, Amerika Serikat memberlakukan sanksi terhadap pasukan polisi cadangan, menuduhnya menggunakan kekuatan berlebihan terhadap pengunjuk rasa yang berdemonstrasi menentang kudeta militer 2021.
Pertempuran di Khartoum sejauh ini telah membuat pasukan RSF menyebar ke seluruh kota saat tentara menggunakan serangan udara dari pesawat tak berawak.
Konflik telah membuat puluhan ribu orang mengungsi melintasi perbatasan Sudan dan memicu peringatan bahwa negara itu dapat hancur, membuat wilayah yang bergejolak menjadi tidak stabil dan mendorong pemerintah asing berebut untuk mengevakuasi warga negara mereka.
Prospek negosiasi tampak suram.
"Tidak ada negosiasi langsung, ada persiapan untuk pembicaraan," kata perwakilan khusus PBB di Sudan, Volker Perthes, kepada wartawan di Port Sudan, menambahkan bahwa negara-negara regional dan internasional bekerja sama dengan kedua belah pihak.
Pemimpin Angkatan Darat Jenderal Abdel Fattah al-Burhan mengatakan dia tidak akan pernah duduk dengan kepala RSF Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, juga dikenal sebagai Hemedti, yang pada gilirannya mengatakan dia akan berbicara hanya setelah tentara menghentikan permusuhan.
Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Faisal bin Farhan, yang pemerintahnya berperan dalam menengahi gencatan senjata, bertemu dengan utusan Burhan Daffalla Al-Haj Ali di Riyad dan menyerukan ketenangan, kata kementerian luar negeri Saudi.
Menambah tekanan diplomatik, Wakil Presiden Uni Emirat Arab Sheikh Mansour bin Zayed telah menelepon Burhan.
Dengan PBB melaporkan hanya 16% fasilitas kesehatan di Khartoum yang beroperasi seperti biasa, Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mengirimkan 8 ton bantuan medis.
Tetapi sementara persetujuan telah diberikan untuk pengiriman ke Khartoum, negosiasi sedang berlangsung dengan kedua belah pihak untuk memfasilitasi pengiriman di dalam kota, di mana rumah sakit, konvoi dan ambulans telah diserang, katanya. Setidaknya lima pekerja bantuan telah tewas dalam pertempuran itu.
REUTERS
Pilihan Editor Rusia Catat Kemajuan di Palagan Bakhmut, Wilayah Ukraina Tinggal 3 Km Persegi