TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Rusia dilaporkan telah meminta pemenang hadiah Nobel Perdamaian 2022 Yan Rachinsky untuk menolak penghargaan tersebut.
Alasannya, dia berbagi penghargaan itu dengan seorang aktivis Ukraina dan pembela hak asasi Belarusia. Menurut pemerintah Rusia, hal ini tidak dapat diterima. Saat ini, Rusia tengah melakukan invasi ke Ukraina dengan dukungan Belarusia.
Baca juga: Aktivis Belarus, Rusia, dan Ukraina Memenangkan Nobel Perdamaian
Rachinsky adalah ketua Memorial, salah satu kelompok hak sipil tertua di Rusia. Ketika diminta untuk memverifikasi berita tersebut, dia mengatakan pada program HARDtalk BBC seperti dikutip ET Ahad 11 Desember 2022, bahwa organisasinya memang diminta untuk menolak penghargaan tersebut.
Namun, dia tidak mengindahkan perintah Kremlin.
"Di Rusia saat ini, keselamatan pribadi tidak ada yang dapat dijamin," katanya. "Ya, banyak yang terbunuh. Tapi kita tahu apa yang menyebabkan impunitas negara. Kita harus keluar dari lubang ini entah bagaimana."
Meskipun pemerintah Rusia menutup organisasinya tahun lalu, Rachinsky mengatakan dia akan melanjutkan perjuangannya untuk hak asasi manusia. Ditambahkannya, keputusan panitia Nobel untuk menganugerahkan gelar kepada tiga orang dari kebangsaan yang berbeda membuktikan bahwa masyarakat sipil tidak mengenal batas negara.
Salah satu penerima lainnya adalah Oleksandra Matviichuk, yang mengelola Pusat Kebebasan Sipil di Ukraina. Lembaga ini diakui atas pekerjaannya dalam mempromosikan demokrasi di Ukraina.
Dia juga sedang bekerja untuk menyelidiki kejahatan perang Rusia. Sementara dia menolak untuk diwawancarai dengan rekan pemenangnya karena hubungan yang terasing antara kedua negara, dia menyebutkan bahwa karyanya luar biasa.
Penerima penghargaan ketiga adalah Ales Bialiatski, pembela hak asasi manusia dari Belarusia. Dia telah dipenjara di negaranya sendiri tanpa pengadilan sejak Juli 2021. Dia mendirikan Spring Human Rights Center pada 1996. Dia mengatakan perjuangannya untuk hak asasi manusia akan berlanjut di penjara.
Memorial telah mendokumentasikan represi bersejarah di era Uni Soviet. Ketua pertamanya - Arseny Roginsky - dikirim ke kamp kerja paksa Soviet untuk apa yang disebut studi sejarah "anti-komunis".
Mengumumkan pemenang hadiah, Komite Nobel mengatakan bahwa Memorial didirikan atas gagasan bahwa "menghadapi kejahatan masa lalu sangat penting untuk mencegah kejahatan baru".
Baca juga: Top 3 Dunia: Nobel Perdamaian, Ledakan di Jembatan Krimea, dan Elon Musk
ET