TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok hak asasi manusia Amnesty International menyerukan negara dan perusahaan untuk menghentikan pasokan bahan bakar penerbangan ke junta Myanmar.
Dalam laporan baru yang dirilis pada Kamis, 3 November 2022, Amnesty meminta pemasok bahan bakar penerbangan menangguhkan pengiriman ke Myanmar untuk mencegah junta militer menggunakannya untuk serangan udara terhadap sasaran sipil.
Baca: Mantan Politikus Myanmar Dihukum 173 Tahun Penjara
Menurut Amnesty, junta Myanmar mengalihkan bahan bakar untuk pesawat sipil ke militer. Angkatan Udara Myanmar telah dikaitkan dengan kejahatan perang.
“Tidak ada pembenaran untuk berpartisipasi dalam pasokan bahan bakar penerbangan ke militer yang secara mencolok menghina hak asasi manusia dan telah berulang kali dituduh melakukan kejahatan perang,” kata Sekretaris Jenderal Amnesty Agnes Callamard.
“Serangan udara ini telah menghancurkan keluarga, meneror warga sipil, korban tewas dan cacat. Tetapi jika pesawat tidak dapat mengisi bahan bakar, mereka tidak dapat terbang dan menimbulkan malapetaka,” kata Callamard.
“Kami meminta pemasok, agen pengiriman, pemilik kapal, dan perusahaan asuransi maritim untuk menarik diri dari rantai pasokan yang menguntungkan Angkatan Udara Myanmar,” ujar dia.
Sejak militer merebut kekuasaan di Myanmar pada Februari 2021, lebih dari 2.300 warga sipil tewas oleh pasukan militer, termasuk mereka yang menjadi sasaran serangan udara.
Selama penelitiannya, Amnesty menyatakan telah mendokumentasikan 16 serangan udara yang terjadi antara Maret 2021 dan Agustus 2022 di negara bagian Kayah, Kayin, Chin, dan wilayah Sagaing.
Serangan udara itu menewaskan sedikitnya 15 warga sipil, melukai sedikitnya 36 lainnya, dan menghancurkan rumah, bangunan keagamaan, sekolah, fasilitas kesehatan, dan kamp pengungsi.
Dalam dua serangan udara, militer Myanmar menggunakan amunisi klaster, yang dilarang secara internasional karena sifat senjata tersebut yang tidak pandang bulu.
Amnesty juga mengatakan telah menghubungkan empat pangkalan udara militer—Hmawbi, Magway, Tada-U, dan Taungoo—dengan serangan yang merupakan kejahatan perang.
“Dalam sebagian besar kasus yang terdokumentasi ini, hanya warga sipil yang tampaknya berada di lokasi serangan pada saat serangan,” kata Amnesty.
Dalam laporan itu, kelompok hak asasi manusia melacak delapan pengiriman bahan bakar penerbangan yang tiba di terminal pelabuhan Thilawa, yang terletak di luar Yangon, antara Februari 2021 dan September 2022.
Sebagian dikirim ke bandara yang berbagi fasilitas pengisian bahan bakar dengan pangkalan militer terdekat, kata Amnesty, mengutip data satelit dan dokumen yang bocor.
Mengutip data Bea Cukai dan surat yang merinci pengiriman, Amnesty menyebutkan setidaknya dua dari delapan pengiriman bahan bakar—Singapore Petroleum Company yang dimiliki PetroChina dan Thai Oil—yang dikirim langsung ke militer.
Amnesty menyatakan Puma Energy, yang berafiliasi dengan perusahaan minyak milik pemerintah Myanmar, Myanmar Petroleum Products Enterprise (MPPE), juga membayar perusahaan lokal untuk mengangkut bahan bakar ke fasilitas penyimpanan yang dikendalikan militer untuk bahan bakar jet.
Menggunakan data pelacakan penerbangan dan wawancara dengan mantan personel militer, Amnesty mengatakan telah mendokumentasikan serangan udara yang diluncurkan dari dua pangkalan udara yang biasanya dipasok oleh fasilitas penyimpanan itu selama periode penelitian.
Menurut Amnesty, beberapa serangan udara oleh pesawat yang berasal dari dua pangkalan tersebut merupakan kejahatan perang.
Pada Juli lalu, Myanmar Witness–sebuah kelompok yang berbasis di London yang mengumpulkan bukti pelanggaran HAM—mengatakan telah memverifikasi penyebaran pesawat Yak-130 buatan Rusia dengan kemampuan serangan darat terhadap warga sipil di Myanmar. Jet itu menggunakan roket terarah dan meriam 23 mm.
Serangan udara oleh militer Myanmar bulan lalu di negara bagian Kachin menewaskan sekitar 80 orang, sebagian besar adalah warga sipil yang menghadiri perayaan dan konser musik yang diadakan oleh kelompok pemberontak etnis.
Singapore Petroleum Company, Rosneft, Chevron, dan Thai Oil, yang semuanya menyediakan bahan bakar tersebut selama periode penelitian Amnesty International, mengatakan kepada kelompok HAM itu bahwa mereka percaya telah menyediakan bahan bakar penerbangan hanya untuk tujuan sipil.
Setelah penyelidikan—yang dilakukan dengan kelompok aktivis Justice For Myanmar—Amnesty mengatakan Thai Oil dan agen pengiriman serta anak perusahaan kelompok maritim Norwegia Wilhelmsen telah mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan semua bisnis yang melibatkan bahan bakar penerbangan di Myanmar.
Amnesty juga mengatakan Puma Energy menyatakan telah menerima laporan bahwa militer telah melanggar kontrol yang diberlakukan untuk menjaga pemisahan pasokan sipil. Perusahaan menyebut pelanggaran ini sebagai alasan mereka keluar dari Myanmar—pada tanggal yang belum diumumkan.
Amnesty meminta semua perusahaan yang terlibat dalam rantai pasokan Myanmar segera menangguhkan pasokan, penjualan, dan transfer langsung dan tidak langsung, termasuk transit, pengiriman, dan perantara bahan bakar penerbangan.
Baca: Jadi Ketua ASEAN 2023, Begini Sikap Indonesia dalam Masalah Myanmar
AL JAZEERA | AMNESTY INTERNATIONAL