TEMPO.CO, Jakarta - Hacker menargetkan platform komunikasi yang digunakan oleh personel militer dan staf pertahanan Australia dengan serangan ransomware. Hal ini diungkapkan oleh pihak berwenang pada Senin, 31 Oktober 2022.
Baca juga: Dua Peretas Cina Diduga Retas Perusahaan Teknologi Australia
Layanan ForceNet, salah satu penyedia eksternal yang dikontrak departemen pertahanan untuk menjalankan salah satu situs webnya, telah diserang. Namun, sejauh ini tidak ada data yang dicuri, kata Asisten Menteri Pertahanan Matt Thistlethwaite.
"Saya ingin menekankan bahwa ini bukan serangan atau pelanggaran pada sistem dan entitas teknologi pertahanan," kata Thistlethwaite kepada Radio ABC.
"Pada tahap ini, tidak ada bukti bahwa kumpulan data telah dilanggar, itu adalah data yang dipegang perusahaan ini atas nama pertahanan."
Meskipun begitu, beberapa informasi pribadi seperti tanggal lahir dan rincian pendaftaran personel militer diakui mungkin telah dicuri.
Menurut Thistlethwaite, pemerintah melihat ini sebagai insiden yang sangat serius dan semua personel pertahanan telah diberitahu. Mereka juga memberi saran untuk mempertimbangkan mengubah kata sandi mereka.
Seorang juru bicara departemen pertahanan mengatakan kepada Reuters dalam sebuah pernyataan email bahwa departemen sedang memeriksa isi dari kumpulan data yang terkena dampak dan informasi pribadi apa yang dikandungnya.
Terdapat perangkat lunak tebusan yang bekerja dengan mengenkripsi data korban dan peretas biasanya akan menawarkan kunci kepada korban dengan imbalan pembayaran mata uang kripto yang dapat mencapai ratusan ribu atau bahkan jutaan dolar.
Beberapa perusahaan terbesar Australia, termasuk perusahaan telekomunikasi nomor dua Optus, yang dimiliki oleh Singapore Telecommunications Ltd, dan perusahaan asuransi kesehatan terbesar di negara itu, Medibank Private Ltd, telah diretas datanya baru-baru ini, kemungkinan mengungkap rincian jutaan pelanggan.
Pakar teknologi mengatakan Australia menjadi sasaran serangan cyber tepat ketika Negara Kanguru itu kekurangan keterampilan keamanan siber karena kekurangan tenaga kerja.
Baca juga: Hacker Bobol Data 10 Juta Pelanggan Telekomunikasi Australia
AL ARABIYA (NESA AQILA)