TEMPO.CO, Jakarta - Ulama Syiah yang punya pengaruh kuat di Irak, Moqtada al-Sadr memerintahkan para pengikutnya untuk mengakhiri unjuk rasa di Ibu Kota Baghdad pada Selasa, 30 Agustus 2022. Seruan Sadr itu, untungnya didengar hingga mampu meredakan konfrontasi yang menyebabkan kekerasan paling mematikan di ibu kota Irak dalam beberapa tahun.
Sadr mengutuk pertempuran itu dan memberi waktu satu jam kepada para pengikutnya untuk membubarkan diri. Dia meminta maaf setelah 22 orang tewas dalam kerusuhan mencekam antara kelompok bersenjata yang setia kepadanya dengan faksi-faksi Syiah di Irak proksi Iran.
"Ini bukan revolusi karena telah kehilangan karakter damainya. Menumpahkan darah Irak itu haram," kata Sadr dalam pidato yang disiarkan televisi, dilansir Reuters.
Ulama Syiah Irak Moqtada al-Sadr berbicara dalam konferensi pers dengan politisi Irak Ammar al-Hakim, pemimpin Arus Hikma, di Najaf, Irak 17 Mei 2018. REUTERS/Alaa al-Marjani
Batas waktu yang terhitung sekitar pukul 2 siang waktu setempat, memperlihatkan para pengikut Sadr meninggalkan daerah di Zona Hijau. Wilayah itu merupakan komplek perkantoran dari lembaga pemerintah Irak dan kantor-kantor kedutaan asing.
Bentrokan pada Senin lalu antara kelompok Syiah Irak merupakan buntut dari 10 bulan kebuntuan politik Irak sejak pemilu anggota parlemen Irak pada Oktober 2021. Pendukung Sadr menduduki gedung parlemen Irak selama berminggu-minggu.
Secara politik, Sadr memposisikan dirinya sebagai nasionalis yang menentang semua pengaruh asing, terutama Iran. Sadr muncul sebagai pemenang utama dalam pemilu Irak tahun lalu.
Akan tetapi dia gagal membentuk koalisi pemerintahan dengan partai-partai Arab Muslim Sunni dan Kurdi, tanpa kelompok-kelompok Syiah yang didukung Iran.
Kekerasan pada minggu ini, meletus setelah Sadr mengatakan dia menarik diri dari semua aktivitas politik. Keputusan dia ambil atas kegagalan para pemimpin dan partai Syiah saingannya untuk mereformasi sistem pemerintahan yang korup dan busuk.
Presiden Irak Barham Salih menyambut baik penghentian awal kekerasan setelah pidato Sadr. Akan tetapi ia memperingatkan bahwa krisis politik di Irak belum berakhir dan menyerukan pemilu dini, seperti tuntutan Sadr, sebagai jalan paling potensial untuk keluar dari kebuntuan politik.
Menurut Salih, yang terpenting lawan Sadr yang bersekutu dengan Iran menyambut seruannya untuk tenang, termasuk Hadi al-Amiri, pemimpin aliansi politik saingan utamanya. "Inisiatif Sadr berani dan pantas dipuji," kata Amiri dalam sebuah pernyataan.
REUTERS
Baca juga: Pertempuran di Irak Memanas, Sejumlah Roket Mendarat di Zona Hijau Baghdad
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.