TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, diperkirakan akan terbang ke Thailand pada Kamis, 11 Agustus 2022, setelah menetap hampir satu bulan di Singapura. Dua sumber mengkonfirmasi, perjalanan Gotabaya ke negara yang juga berada di Asia Tenggara itu, adalah untuk mencari perlindungan sementara setelah melarikan diri dari Sri Lanka akibat protes massal.
Gotabaya Rajapaksa kabur setelah terdesak pada 13 Juli 2022. Ia mengundurkan diri dari posisinya akibat pergolakan politik yang disebabkan krisis ekonomi di Sri Lanka.
Eks presiden Sri Lanka awalnya berencana menetap di Singapura selama 14 hari setelah kabur dari negaranya. Tapi Singapura memperpanjang masa tinggalnya selama dua pekan.
Tak lama setelah Gotabaya Rajapaksa mundur, Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe memenangkan pemungutan suara di parlemen untuk menjadi presiden baru. Setelah menjabat, Wickremesinghe tetap berhubungan dengan Rajapaksa untuk menangani masalah serah terima administrasi dan urusan pemerintah lainnya.
Sebelumnya, Presiden baru Ranil Wickremesinghe menyatakan Gotabaya tidak akan kembali ke Sri Lanka dalam waktu dekat. Ranil menilai kepulangan eks Presiden Sri Lanka itu dapat mengobarkan ketegangan politik.
"Saya tidak percaya ini saatnya dia kembali," kata Wickremesinghe dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal, dilansir Reuters, Senin, 1 Agustus 2022. "Saya tidak punya indikasi dia akan segera kembali."
Keuangan Sri Lanka lumpuh oleh utang yang menumpuk karena fokus pembangunan besar-besaran pasca-perang saudara yang berakhir di 2009. Pemerintah mengucurkan banyak investasi pada jalan dan pelabuhan.
Selain itu pemotongan pajak yang diberlakukan oleh rezim Presiden Gotabaya Rajapaksa juga membuat ekonomi terpuruk. Utang luar negeri Sri Lanka meroket hingga US$ 51 miliar atau sekitar Rp 757 triliun, termasuk kepada China sebesar US$ 6,5 miliar (Rp 97,7 triliun).
Sri Lanka tidak bisa membayar utang. Sri Lanka juga tidak memiliki uang untuk mengimpor barang-barang pokok. Mereka hampir tidak memiliki sisa dolar untuk mengimpor bahan bakar, yang telah dijatah secara ketat.
Masyarakat Sri Lanka menyalahkan Gotabaya Rajapaksa atas runtuhnya ekonomi yang bergantung pada pariwisata. Krisis ekonomi di Sri Lanka kian parah sejak dihantam pandemi COVID-19.
Sri Lanka telah melakukan pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional tentang paket bailout. Pada April, Sri Lanka telah menangguhkan pembayaran utang luar negeri sekitar US$ 12 miliar (Rp 178 triliun) dan memiliki pembayaran hampir US$21 miliar (Rp 312 triliun) yang akan jatuh tempo pada akhir 2025.
Wickremesinghe berharap kesepakatan tingkat staf IMF akan tercapai pada akhir Agustus. Dia menambahkan, Sri Lanka harus mengamankan lebih dari US$ 3 miliar (Rp 44 triliun) dari sumber lain tahun depan untuk mendukung impor penting termasuk bahan bakar, makanan, dan pupuk. Dia juga mengatakan kepada surat kabar itu, Sri Lanka butuh waktu berbulan-bulan untuk melihat peningkatan yang nyata dalam keadaan ekonomi mereka.
Baca: Singapura Tolak Istimewakan Eks Presiden Sri Lanka: Tak Ada Keramahan Atau Kekebalan
REUTERS