TEMPO.CO, Jakarta - Suasana ruang sidang utama Bali International Convention Center sedikit berbeda, Senin 21 Maret 2022 sore. Delegasi sidang parlemen sedunia (Inter-Parliamentary Union/IPU) ke-144 yang biasanya tertib, berkeliaran di penjuru ruangan, berbicara satu sama lain. Sidang ini membahas perang Rusia Ukraina.
Sementara di podium, perwakilan delegasi bergantian menyampaikan sikap mengenai usulan resolusi emergency item mengenai invasi Rusia ke Ukraina. Suasana ruang sidang utama Bali International Convention Center sedikit berbeda, Senin 21 Maret 2022 sore.
Delegasi sidang parlemen sedunia (Inter-Parliamentary Union/IPU) ke-144 yang biasanya tertib, berkeliaran di penjuru ruangan, berbicara satu sama lain. Sementara di podium, perwakilan delegasi bergantian menyampaikan sikap mengenai usulan resolusi emergency item mengenai invasi Rusia ke Ukraina.
Sidang parlemen sedunia (Inter-Parliamentary Union/IPU) ke-144 di Bali International Convention Center, Indonesia pada Senin 21 Maret 2022. Sumber: Dokumen dpr.go.id
Sore itu ada dua proposal resolusi mengenai perang Rusia-Ukraina yang ditawarkan untuk disetujui oleh 115 negara anggota IPU yang hadir. Pertama adalah proposal Indonesia yang berjudul, ‘The Role of Parliament in Supporting a Peaceful Resolution to Russian-Ukrainan Conflict’.
Kedua adalah proposal Selandia Baru yang berjudul, ‘Peaceful Resolution of the War in Ukraine, Respecting International Law, the Charter of the United Nations and Territorial Integrity’.
Indonesia tercatat memasukkan proposalnya pada 20 Maret 2022, disusul Selandia Baru yang memasukkan rancangannya pada 21 Maret 2022. Sebenarnya ada satu proposal lagi yang diusulkan oleh Ukraina pada 16 Maret 2022 dengan judul, ‘Russian and Belarusian Agression Against Ukraine.’ Tapi, diduga karena isinya terlalu keras dan minim dukungan, Ukraina kemudian mencabut proposal tersebut.
Salah satu usulan Indonesia adalah membentuk gugus tugas untuk berbicara dengan parlemen dari kedua negara. Usulan resolusi Indonesia tidak mengandung kutukan atau kecaman terhadap Rusia maupun Belarusia.
Indonesia juga tidak menggunakan istilah invasi, melainkan konflik. Sementara usulan Selandia menggunakan istilah perang di Ukraina. Tapi substansinya tidak jauh berbeda, yakni mengusulkan IPU menjembatani dialog antar kedua parlemen.
Dalam kesempatan penyampaian pandangan negara-negara, delegasi Afrika Selatan menyampaikan dukungan untuk Indonesia dan memandang usulan Indonesia lebih mudah diimplementasikan oleh parlemen.
IPU dalam hal ini harus memaksimalkan fungsi yang dimiliki sebagai sarana mediasi dan dialog antar parlemen. Sementara delegasi Inggris dan Polandia tegas mendukung usulan Selandia Baru.
Setelah masing-masing delegasi menyampaikan pendapatnya dan tidak tercapai kata mufakat, Presiden IPU Duarte Pacheco akhirnya memutuskan melakukan pemungutan suara untuk memilih proposal yang akan dijadikan resolusi emergency item pada sidang IPU tahun ini. Sebelum pemungutan suara digelar, Duarte memutar rekaman video dari anggota parlemen Ukraina, Lesia Vasylenko.
Berdiri di tengah lapangan terbuka, legislator perempuan itu mengaku sedang berada di perbatasan Polandia menuju Ukraina dengan membawa bantuan kemanusiaan bagi rakyat. Ia tertahan di perbatasan karena dihadang tentara Belarusia yang mendukung Rusia.
Ia menyebut, perang di Ukraina bukanlah konflik, melainkan agresi. Lesia juga mendesak IPU mengeluarkan resolusi yang sama kerasnya dengan resolusi PBB.
Tak lama pemungutan suara pun berlangsung. Setiap delegasi menyampaikan secara lisan pilihan mereka. Jumlah suara setiap delegasi dihitung berdasarkan jumlah penduduk.
Indonesia menggenggam 22 suara. Voting berlangsung cepat. Hasilnya, proposal Indonesia kalah karena hanya didukung sekitar 300 suara, sedangkan proposal Selandia Baru mendapat dukungan sekitar 500 suara. Pendukung Indonesia antara lain, Iran, Mesir, dan Kazakhstan.
Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon, menolak menyebut kekalahan ini sebagai kegagalan diplomasi Indonesia. Sejak semula, tuturnya, target Indonesia bukanlah memenangkan perdebatan melainkan melunakkan rancangan resolusi dari negara-negara lain, terutama Ukraina yang dinilai sangat keras dan sepihak.
Ia mengatakan, proposal Indonesia tidak mengecam salah satu negara, karena hal tersebut tidak akan menghasilkan solusi. Menurut Fadli, kalau hanya mengecam, Indonesia sudah lebih dulu mengecam Rusia dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Selain itu, Komite Eksekutif IPU juga sudah menyampaikan kecaman.
“Jadi yang kami lakukan adalah memediasi, menjadi jembatan bagi perdamaian, karena itu isi proposal indonesia sangat moderat,” tuturnya.
Fadli mengatakan, proposal Selandia Baru yang dimasukkan paling akhir menyerap sebagian usulan Indonesia. Sehingga hasil akhirnya, proposal Selandia Baru sudah jauh lebih moderat dan lunak ketimbang proposal Ukraina. Beberapa hal yang disebut Selandia Baru seperti integritas teritorial juga disinggung Indonesia.
“Substansinya tidak terlalu banyak berbeda. Judul mereka juga menggunakan kata peaceful. Pendekatannya saja yang berbeda, Indonesia menggunakan pendekatan parlemen,” tutur politikus Partai Gerindra ini.
Indonesia juga menghargai hukum internasional dan integritas teritorial sebagaimana Selandia Baru. Hanya saja, Selandia Baru menekankan diksi agresi dan mengutuk. Dia mengimbuhkan, dalam menyusul usulan resolusi Indonesia mencermati peristiwa penolakan parlemen Rusia terhadap Presiden IPU.
“Dari situ kita melahirkan draft resolusi ini. Berbahaya kalau parlemen dunia kehilangan anggota penting setelah AS keluar dari IPU. Kalau Rusia keluar, signifikansi lembaga ini kian berkurang,” ujarnya.
Fadli mengklaim, Indonesia sangat memperhatikan isu kemanusiaan, terutama jutaan pengungsi Ukraina yang menjadi korban perang.
“Proposal Selandia Baru itu merupakan sintesis. Ukraina mencabut proposalnya, karena pasti tidak ada dukungan. Akhirnya dicari jalan tengah. Selandia Baru juga jalan tengah,” ujar Fadli.
Wakil Ketua BKSAP DPR Putu Supadma Rudana menimpali, usulan Indonesia adalah mencari solusi damai, tapi esensinya tetap mengutuk keras serangan Rusia ke Ukraina. Sementara substansi sama persis dengan Selandia Baru, yaitu mencari solusi damai, menghormati hukum internasional.
“Hasil voting ini bukan kekalahan diplomasi, karena secara elegan kita telah menggiring dari isu yang hanya mengutuk dan mengutuk, menjadi lebih moderat,” kata politikus Partai Demokrat ini.
Masyarakat sempat mempertanyakan sikap pemerintah Indonesia yang tidak tegas menanggapi invasi Rusia ke Ukrania. Pada 24 Februari 2022 atau sesaat setelah militer Rusia memasuki Ukraina, Presiden Joko Widoo melalui akun Twitter miliknya hanya mencuitkan, “Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia.”
Indonesia juga ikut tidak menjadi co-sponsor rancangan resolusi PBB yang mengutuk invasi Rusia ke Ukraina. Namun akhirnya, pada awal Maret lalu Indonesia menandatangani resolusi Majelis Umum PBB yang menyesalkan agresi Rusia ke Ukranina.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana berpendapat, Indonesia memang sepatutnya tidak berpihak dalam masalah invasi Rusia ke Ukraina. Tujuannya agar Indonesia bisa tetap aktif menjalin kontak dengan berbagai pihak yang bertikai untuk menciptakan kedamaian.
Baca juga: Ukraina Tolak Ultimatum Rusia untuk Serahkan Mariupol
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.