TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung Filipina mengatakan pada Kamis bagian dari undang-undang anti-terorisme yang disahkan tahun lalu tidak konstitusional, dalam keputusan yang dipuji oleh salah satu penentangnya sebagai "kemenangan sebagian".
Undang-undang kontroversial, yang ditandatangani oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada Juli 2020, telah membuat khawatir beberapa pengacara dan aktivis hak asasi manusia yang khawatir undang-undang itu dapat digunakan untuk menekan kebebasan berbicara dan menindas lawan pemerintah.
Dikutip dari Reuters, 9 Desember 2021, undang-undang tersebut memberikan wewenang kepada polisi dan militer untuk mengatasi ancaman keamanan, tetapi para ahli hukum telah memperingatkan pasal-pasalnya yang terlalu luas dapat membuka pintu bagi penegakan yang diskriminatif, pelanggaran privasi, dan penindasan terhadap perbedaan pendapat secara damai.
Rincian lebih lengkap dari putusan pengadilan tidak segera tersedia.
Pemerintah tidak segera menanggapi keputusan tersebut. Panfilo Lacson, seorang senator dan penyusun utama undang-undang tersebut, dalam sebuah cuitan Twitter sebelum putusan mengatakan dia akan menghormati hasilnya.
Pengadilan menganulir bagian dari undang-undang "karena terlalu luas dan melanggar kebebasan berekspresi", katanya dalam sebuah pernyataan.
Renato Reyes, sekretaris jenderal gerakan Bayan (Bangsa) kiri mengatakan, "kemenangan utama kami dari keputusan SC tentang undang-undang anti-teror adalah bahwa aktivisme bukanlah terorisme. Itu adalah kemenangan parsial bagi para pembuat petisi karena protes dan advokasi bukanlah tindakan kekerasan. teror."
"Tetapi ketentuan berbahaya dari undang-undang anti-terorisme Filipina tetap ada dan masih bisa disalahgunakan oleh dewan anti-teror," katanya lebih lanjut.
Baca juga: UU Anti-Teror Dari Duterte Berpotensi Langgar Hak Asasi Manusia
REUTERS