TEMPO.CO, Jakarta - Seorang pensiunan guru, Neih Ki Yaw, 74 tahun, gugur sebagai pahlawan pro-demokrasi dalam pertempuran melawan pasukan Junta Myanmar. 13 Oktober 2021.
Yaw seharusnya menikmati masa tuanya dengan tenang di kampung kelahirannya, Kotapraja Mindat di Negara Bagian Chin. Namun kudeta yang dilakukan militer membuatnya meradang, demikian dilaporkan Myanmar Now, Senin, 15 November 2021.
Ia nekat mengangkat senjata bersama pejuang pro-demokrasi lain bergabung dengan Angkatan Pertahanan Chinland (CDF). Seiring waktu, mereka mulai membuat senjata yang lebih canggih, termasuk pistol buatan tangan dan alat peledak improvisasi (IED).
Sebagai anggota cadangan CDF, Neih Ki Yaw bertanggung jawab untuk memelihara senjata dan membuat IED untuk digunakan melawan kendaraan militer yang mengalir ke Negara Bagian Chin.
Selama berbulan-bulan, CDF berhasil melakukan serangan terhadap pasukan rezim menggunakan bahan peledak ini. Namun, dengan diluncurkannya Operasi Anawrahta oleh junta pada bulan Oktober, upaya mereka untuk menahan pergerakan besar-besaran pasukan terbukti kurang efektif.
Pada 13 Oktober, konvoi 70 truk militer dan dua tank yang berangkat dari Pakokku berhenti di Mindat dalam perjalanan ke Matupi, di Negara Bagian Chin barat. CDF telah meletakkan IEDS di sepanjang jalan Mindat-Matupi untuk mencegah laju pasukan militer, tetapi karena ranjau dan kondisi cuaca buruk, hanya beberapa yang meledak.
Neih Ki Yaw menemui ajalnya di dekat KM 48 di jalan Mindat-Matupi. Di sinilah dia dan rekan-rekannya berada di bawah tembakan artileri dan Neih Ki Yaw memutuskan untuk mengorbankan hidupnya agar rekan di unitnya bisa mundur, kata seorang pejuang Yaw Mahn.
“Ketika kami memutuskan untuk mundur sehingga kami bisa membalas tembakan, dia tetap tinggal untuk menarik pasukan junta. Saat itulah dia ditembak. Sepotong pecahan peluru menembus sisi kiri punggungnya,” katanya.
Berikutnya Tak rela Junta Militer berkuasa lagi