Perjuangan Yaw dilanjutkan putra-putranya. Salah satu anaknya, bertugas membawa ranjau buatan tangan ayahnya ketika dia pergi ke garis depan sebagai bagian dari perlawanan bersenjata.
“Kami sangat bangga padanya karena memainkan peran besar dalam revolusi dari rumahnya,” kata salah satu dari empat putranya, mantan pegawai departemen kehutanan yang berhenti dari pekerjaan untuk bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil.
Neih Ki Yaw lahir setahun setelah Myanmar meraih kemerdekaannya pada 1948 dari pemerintahan kolonial Inggris.
Dia masih anak-anak ketika negara itu pertama kali jatuh di bawah kekuasaan militer hampir 60 tahun yang lalu, tetapi sudah menjadi ayah dari lima anak pada saat pemberontakan pro-demokrasi 1988.
Pada 1990-an, ketika tentara memperkuat cengkeramannya setelah melakukan kudeta berdarah lagi untuk mempertahankan kekuasaan, ia kehilangan istrinya dan berjuang untuk membesarkan keluarganya sendiri.
Akhirnya, dia pensiun dari pekerjaannya sebagai guru sekolah menengah dan mendedikasikan dirinya untuk melayani komunitasnya.
Dia menyaksikan tanda-tanda pertama dari perubahan nyata dalam hidupnya, ketika militer mengizinkan pemilihan pertama dalam 20 tahun.
Tidak diragukan lagi, dia berharap anak-anaknya tidak akan pernah merasakan pahitnya kehidupan di bawah kediktatoran yang brutal.
Itu sebabnya ketika tentara mencuri kekuasaan lagi pada bulan Februari, untuk ketiga kalinya sejak kelahirannya, Neih Ki Yaw bertekad untuk melawannya dengan cara apa pun yang dia bisa.
Tidak membiarkan usianya menghalangi jalannya, ia mengambil bagian dalam protes anti-kudeta—dan kemudian, ketika rezim bergerak untuk menghancurkan semua oposisi terhadap kekuasaannya, ia bergabung dengan gerakan perlawanan bersenjata.
Berikutnya Siswa berprestasi, guru berdedikasi