TEMPO.CO, Jakarta - British American Tobacco akan menghentikan semua operasi di Myanmar yang dikuasai junta militer dan menarik diri sepenuhnya pada akhir tahun ini, kata perusahaan itu pada Selasa.
British American Tobacco mengatakan keputusan itu diambil setelah menilai kelangsungan hidup jangka panjang dari bisnisnya di Myanmar.
“Seperti perusahaan global lainnya, kami terus mengevaluasi operasi kami di seluruh dunia,” kata perusahaan itu, dikutip dari Reuters, 13 Oktober 2021.
“Setelah mengevaluasi kelayakan operasional dan komersial jangka panjang dari bisnis kami di Myanmar, kami telah mengambil keputusan untuk menarik diri dari negara itu dan menghentikan semua operasi.”
Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta militer, yang mengakhiri satu dekade demokrasi tentatif dan reformasi ekonomi usai berakhirnya setengah abad kekuasaan militer pada 2011, dan setelah bertahun-tahun sanksi Barat yang melumpuhkan ekonomi.
Banyak perusahaan besar di Myanmar awalnya menyatakan komitmen mereka terhadap negara itu dalam minggu-minggu setelah kudeta, tetapi tindakan keras tentara selama berbulan-bulan terhadap pemogokan dan protes, serta pembunuhan lebih dari 1.000 warga sipil telah memaksa banyak perusahaan untuk berpikir ulang.
BAT tidak merinci alasan keputusannya untuk menarik diri dari negara tersebut. Perusahaan tembaku itu mulai beroperasi di Myanmar pada 2013, dua tahun setelah pemerintahan semi-sipil yang dipimpin oleh para teknokrat dan pensiunan jenderal memulai reformasi besar-besaran untuk memikat investor.
Ekonomi rapuh negara itu sekarang dalam kesulitan, dengan mata uang kyat kehilangan lebih dari 60% nilainya bulan lalu, mendorong naiknya biaya makanan dan bahan bakar. Bank Dunia telah memperkirakan kontraksi 18% dalam produk domestik bruto tahun ini.
Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Uni Eropa telah menanggapi dengan menjatuhkan sanksi yang ditargetkan pada militer Myanmar dan jaringan kepentingan bisnisnya yang luas.
Baca juga: Krisis Ekonomi Myanmar Terparah dalam 20 Tahun Terakhir, Rakyat Kelaparan
REUTERS