TEMPO.CO, Jakarta - Ribuan orang kembali berunjuk rasa di Tunis, ibukota Tunisia. Mereka memprotes perebutan kekuasaan oleh Presiden Kais Saied dan menyerukan untuk mundur dari jabatannya.
Unjuk rasa besar-besaran ini menunjukkan kemarahan publik terhadap Saied. Pekan ini Saied mengesampingkan sebagian besar konstitusi 2014 yang memberikannya kekuatan untuk memerintah. Dia memecat perdana menteri, menangguhkan parlemen dan mengambil alih otoritas eksekutif.
"Rakyat menginginkan jatuhnya kudeta," teriak massa di Jalan Habib Bourguiba Tunis, yang merupakan pusat demonstrasi. Polisi berjaga-jaga di seitar lokasi demonstrasi.
Tunisia di bawah bayang-bayang krisis demokrasi yang telah diperjuangkan melalui revolusi 2011. Kais Saied mengatakan tindakannya mengambil alih kekuasaan pada Juli 2021 diperlukan untuk mengatasi krisis politik, stagnasi ekonomi dan respons yang buruk terhadap pandemi virus corona. Dia berjanji tidak menjadi diktator.
Seorang pengunjuk rasa Nadia Ben Salem mengatakan menempuh jarak 500 kilometer untuk mengekspresikan kemarahannya. "Kami akan melindungi demokrasi. Konstitusi adalah garis merah," katanya sambil menunjukkan salinan konstitusi.
Saied sendiri masih didukung sejumlah warga Tunisia yang bosan dengan korupsi dan pelayanan publik yang buruk. Puluhan pendukungnya juga muncul di tempat demonstrasi sehingga polisi harus memisahkan kedua kubu.
"Kami mendukung Kais Saied karena dia menyatakan perang melawan kelas politik yang korup," kata pria yang hanya mau menyebutkan nama depannya, Ahmed.
Baca: Pejabat Senior di Tunisia Mengundurkan Diri Massal
REUTERS