Seorang pejuang Taliban berlari ke arah kerumunan di luar bandara Kabul dengan membawa RPG-7, di Kabul, Afghanistan, 16 Agustus 2021. RPG-7 adalah granat berpeluncur roket anti tank yang diluncurkan dari pundak yang banyak diproduksi. REUTERS TV/via REUTERS
1. Kisah Wartawan Tempo di Afghanistan, Mudahnya Punya AK-47 Saat Taliban Tak Ada
Bagi wartawan Tempo Qaris Tajudin, Afghanistan pasca kejatuhan Taliban di tahun 2001 ibarat kawasan tak bertuan. Belum adanya pemerintahan definitif membuat senapan menjadi "alat komunikasi" sehari-hari di sana. Pembunuhan dan perempokan pun kerap terjadi karena hal-hal sepele. Salah satunya terjadi pada toko sepatu di sebuah kota kecil yang berbatasan dengan Mandar, Pakistan.
Pada suatu hari, di toko tersebut, enam orang pelayan toko ambruk dalam keadaan perut bolong ditembak. Darah mereka terus mengucur, menggenangi lantai toko sepatu. Sang penembak, dengan santai, tidak berkomentar apapun usai melepaskan serangan. Ia hanya mencangklongkan senapan AK-47 ke pundaknya dan melenggang pergi.
Penembakan itu terjadi karena perkara sepele: ukuran sepatu yang salah. Sang penembak, yang merupakan tentara Aliansi Utara, tidak puas dengan sepatu yang ia dapat dan memintanya ditukar. Pemilik toko ogah menukarkan sepatu yang sudah dipakai jalan. Tidak suka atas perlakuan yang diterima, senapan AK-47 sang penembak menyalak. Enam orang ambruk seketika. Tak salah menyebut Afghanistan di tahun 2001, saat Taliban jatuh, bak Wild West di film koboi.
"Saat itu, senjata dipegang oleh siapa saja dan bisa diarahkan kepada siapapun pun. Kelompok Aliansi Utara yang memenangi peperangan atas Taliban bisa bertempur satu sama lain setiap waktu," ujar Qaris Tajudin dalam kisahnya soal perjalanan ke Afghanistan.