Pasukan Taliban berpatroli dengan membawa senjata RPG-7 dan senapan mesin M249 di Kabul, Afghanistan, 16 Agustus 2021. REUTERS/Stringer
Memperoleh AK-47 dan RPG bukan perkara sulit di Afghanistan saat itu. Siapapun bisa membelinya. Di Jalalabad, sebuah toko dibuka khusus untuk berdagang dan mereparasi AK-47. Alhasil, ketika Qaris menelusuri jalanan kota Kabul, sangat mudah menemukan setiap lelaki memanggul senapan AK-47 plus mortir jenis RPG. Padahal, tidak semua dari mereka adalah tentara atau memiliki pengalaman bertempur.
Penasaran, Qaris sempat iseng bertanya terhadap salah satu guru di Afghanistan apakah dirinya memiliki AK-47. Dengan santai, sang guru menjawab dirinya punya. Lucunya, ia memperlakukan AK-47 seperti duit, menyimpannya di balik kasur atau bantal yang ia pakai tidur.
"Ya, saya punya. Saya simpan di bawah batal yang saya pakai. Sekadar buat jaga-jaga" ujar guru bernama Daud itu. Daud menyimpan Kalashnikov tua, sisa senjata tentara Soviet yang dulu memerangi Afganistan.
Tahu banyak orang memiliki senapan AK-47 plus pertempuran bisa terjadi sewaktu-waktu, Qaris ekstra hati-hati dalam memilih tempat menginap selama meliput di Afghanistan. Ia sempat nyaris mati ditembak AK-47 dalam perjalanan menuju Kabul dan ogah mengalaminya lagi.
Salah satu pemandu Qaris di Afghanistan, Habibullah, menyarankannya untuk tidak tinggal di hotel yang dijadikan pos militer Aliansi Utara. Menurut Habibullah, itu bendera merah. Para panglima perang (warlord) di sana bisa sewaktu-waktu memulai pertempuran di sana, syukur-syukur kalau hanya random checking.
"Keadaan tak aman. Ayo kita menyingkir dari sini," ujar Habibullah saat menemani Qaris di Asadabad, Afghanistan. Qaris menurut, menumpang mobil pick up dengan pengawalan delapan orang yang, lagi-lagi, mencangklong senapan AK-47.
Benar saja, ketika Qaris tiba di Kabul, desingan AK-47 dan RPG terdengar saban malam. Penduduk berkata kepada Qaris, itu bukan suara pertempuran Aliansi Utara dengan Taliban, tetapi antar kelompok Aliansi Utara. Qaris bahkan sempat diperingatkan untuk tidak memasuki Kabul jika ingin selamat.
"Sebaiknya jangan karena terlalu banyak orang yang mati di jalan," kata Mardan. Saat Taliban masih berkuasa, dari tahun 1996-2001, pria muda itu rajin ke Kabul untuk mencuci foto. Saat itu, tempat cuci foto hanya ada di Kabul.