TEMPO.CO, Jakarta - Ledakan besar terjadi di Pelabuhan Beirut, Lebanon pada 4 Agustus 2020. Kejadian ini menewaskan 200 orang lebih dan melukai 6 ribu lainnya. Tiga ratus ribu orang kehilangan tempat tinggal, menurut laporan Reuters.
Ledakan berasal dari 2.750 ton amonium nitrat, bahan kimia untuk bahan baku pupuk dan peledak, yang disimpan tanpa prosedur keamanan di sebuah gudang di pelabuhan Beirut.
Laporan CNN pada 6 Agustus 2020 menyebut ribuan ton amonium nitrat ini tiba di Lebanon pada 2013 ketika kapal Rusia MV Rhosus hendak menuju ke Mozambik dari pelabuhan di Batumi, Georgia. Pemilik kapal mengatakan bahwa dia kehabisan uang sehingga perlu mengambil kargo tambahan untuk membiayai perjalanan mereka. Inilah yang akhirnya membawa kapal itu singgah di Beirut.
Sejak 2013 pemerintah Lebanon tahu ada ribuan material berbahaya tetapi tidak mengambil tindakan apapun. Terlebih peristiwa ini terjadi saat mereka sedang menderita krisis ekonomi dan pandemi yang membuat warganya semakin tercekik. Mata uang Lebanon pada saat itu sudah mulai terjun bebas dan kehilangan 80 persen nilainya terhadap dolar AS, menurut Euronews, mengutip data Bank Dunia.
Ledakan di Beirut semakin menambah ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah. Gelombang unjuk rasa pun terjadi. Perdana Menteri Hassan Diab akhirnya mengundurkan diri pada 10 Agustus bersama jajaran menterinya. Namun Diab tetap menjadi pelaksana tugas perdana menteri sampai pemilihan umum digelar dan kabinet baru dibentuk.
Terkait ledakan besar tersebut, pemerintah Lebanon dihadapkan 1228 tuntutan dari warga Lebanon. Beirut Bar Association, asosiasi praktisi hukum di Lebanon, menjadi motor di balik ribuan tuntutan ke pemerintah tersebut. Mereka membantu warga yang ingin menuntut pertanggungjawaban. Karena hukum Lebanon tidak mengenal class action, maka Beirut Bar Association berencana menggabungkan tuntutan yang ada sebagai tuntutan kepada negara Lebanon.
Dari 1228 tuntutan yang ada, 82 persen di antaranya meminta tanggung jawab material atas dampak ledakan di Beirut. Sementara itu, sisanya, kebanyakan berkaitan dengan cedera yang dialami serta anggota keluarga yang hilang pasca ledakan di Beirut.
Terkait ledakan tersebut, seniman dari Lebanon juga membuat patung perempuan yang dibuat dari serpihan gelas dan puing ledakan di Beirut. Patung tersebut dibuat oleh Hayat Nazer, alumnus American University of Beirut, dan seorang seniman yang belajar secara otodidak.
Patung diberi nama "The Lady of the world" oleh Hayat. Dia ingin karyanya menjadi pengingat bagi generasi penerus untuk selalu mengenang apa yang telah dialami Beirut dan masyarakatnya.
Hayat Nazer ikut membersihkan puing-puing bersama penduduk lain setelah ledakan Beirut. Saat itulah dia mendapat ide untuk menggunakan sebagian dari apa yang dia temukan untuk membuat patung yang dapat menginspirasi rakyat Lebanon untuk bersatu dan membangun kembali.
GERIN RIO PRANATA
Baca juga:
Keluarga Korban Ledakan di Beirut Minta Kekebalan Hukum Pejabat Dicabut