TEMPO.CO, Jakarta - Duduk di luar kedai kopi di kota pantai Batroun, Sara Khoury menyeruput kopinya sambil menikmati pemandangan laut yang tenang di kampung halamannya. Saat berlibur dari Dubai, tempat dia tinggal sebagai ekspatriat Lebanon berusia 27 tahun, Khoury terkejut dengan tingginya harga-harga di Lebanon, dan menganggapnya sebanding dengan harga-harga di salah satu kota termahal di dunia.
"Lebanon tidak bisa lagi dianggap sebagai negara yang terjangkau; harga-harga tinggi hampir di semua tempat," ujar Khoury, yang bekerja di bidang penjualan di sektor makanan dan minuman, kepada Al Arabiya English. "Ini berlaku untuk restoran, barang kelontong, hotel dan layanan lainnya. Kami melihat harga di restoran-restoran sederhana yang hampir setara dengan restoran-restoran kelas atas di Dubai."
Beirut berada di peringkat ke-6 sebagai kota termahal di dunia Arab, hanya kalah dari Dubai, Abu Dhabi, Doha, Riyadh dan Jeddah, menurut laporan terbaru dari Indeks Biaya Hidup tahunan Numbeo. Secara global, kota ini berada di peringkat ke-113 kota termahal dari 178 kota dengan indeks biaya hidup sebesar 45,2 poin. Sebagai perbandingan, Jenewa menduduki peringkat teratas dengan skor 101,7.
Meskipun biaya hidupnya tinggi, kualitas hidup di Beirut menurun drastis jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Dalam Indeks Kualitas Hidup Numbeo, kota ini berada di peringkat 171 dari 178 kota di seluruh dunia.
Bahkan dengan krisis ekonomi yang telah secara dramatis mengurangi kemampuan keuangan penduduk, biaya hidup di ibu kota Lebanon tetap tinggi.
Krisis Lebanon sejak akhir 2019 adalah yang terburuk dalam sejarah negara ini. Mata uang nasional, Pound Lebanon, telah kehilangan lebih dari 98 persen nilainya terhadap dolar. Krisis keuangan ini melenyapkan tabungan masyarakat dan menyebabkan hiperinflasi.
Sebuah laporan dari Bank Dunia pada Mei mengungkapkan bahwa kemiskinan di Lebanon telah meningkat lebih dari tiga kali lipat selama satu dekade terakhir, dan kini mempengaruhi 44 persen dari populasi. Laporan tersebut juga menyoroti bahwa kemiskinan tidak terdistribusi secara merata di seluruh negeri.
Dengan pesatnya perkembangan ekonomi berbasis uang tunai, rumah tangga Lebanon yang berpenghasilan dalam dolar telah berhasil mempertahankan daya beli mereka sampai batas tertentu. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki akses ke mata uang asing lebih rentan terhadap peningkatan inflasi.