TEMPO.CO, Jakarta - Malaysia segera mengizinkan penjualan komersial vaksin COVID-19 yang diproduksi perusahaan China Sinopharm dan Sinovac. Penjualan vaksin Covid-19 ditujukan untuk mempercepat inokulasi di tengah melonjaknya kasus.
Menteri Sains Khairy Jamaluddin mengatakan jumlah infeksi harian Covid-19 di Malaysia terus merangkak naik. Untuk itu pemerintah sedang menggenjot tingkat vaksinasi nasional. Sekitar 39 persen dari populasi orang dewasa di sana telah menerima setidaknya satu dosis vaksin COVID-19.
Malaysia telah menyetujui penggunaan darurat untuk vaksin Sinopharm, dan akan segera dibuka untuk pembelian komersial. Sedangkan vaksin Sinovac akan tersedia secara komersial mulai 1 Agustus 2021, setelah pengiriman sekitar 15 juta dosis yang disediakan oleh pemerintah rampung.
Malaysia pada hari Jumat melaporkan 12.541 kasus virus corona baru, sehingga total infeksi menjadi 893.323, termasuk 6.728 kematian.
Malaysia sebelumnya mengatakan akan berhenti memberikan vaksin Sinovac setelah persediaan habis. Sebaliknya Malaysia akan sangat bergantung pada vaksin mRNA Pfizer-BioNTech untuk program vaksin nasional.
Pada hari Jumat, Khairy mengklarifikasi bahwa vaksin Sinovac tetap tersedia bagi mereka yang mungkin memiliki masalah alergi dengan vaksin lain. "Tidak ada masalah atas kemanjuran Sinovac," katanya seperti dikutip dari kantor berita Reuters.
Malaysia juga akan mempertimbangkan untuk membeli lebih banyak dosis vaksin Sinovac jika terjadi kekurangan vaksin AstraZeneca dari Thailand.
Thailand mengatakan minggu ini sedang mempertimbangkan untuk membatasi ekspor vaksin AstraZeneca yang diproduksi secara lokal untuk memerangi krisis COVID-19 di dalam negeri. Langkah ini berpotensi mengganggu pasokan ke negara-negara lain.
Khairy mengatakan Malaysia akan mencari jaminan dari Thailand bahwa pasokan tidak terganggu.
Pekan lalu, Badan Kesehatan Dunia atau WHO sempat melontarkan kritik terhadap vaksin berbayar Indonesia yang semula akan disalurkan melalui Kimia Farma. Seperti dikutip dari situs resmi WHO, Jumat, 16 Juli 2021, WHO menyatakan vaksin berbayar di tengah pandemi bisa menimbulkan masalah etika.
Kepala Unit Program Imunisasi WHO, Dr Ann Lindstrand mengatakan setiap warga negara memiliki kemungkinan dan akses yang sama untuk mendapatkan vaksin Covid-19. "Dibutuhkan cakupan dan vaksin untuk menjangkau semua yang paling rentan," kata Lindstrand.
Dia melanjutkan, ada dosis vaksin Covid-19 dari COVAX yang disampaikan melalui kerjasama dengan badan UNICEF, WHO, dll. "Tentu saja mereka memiliki akses vaksin yang gratis, hingga 20 persen dari populasi yang didanai oleh para penyandang dana kerjasama COVAX," ujarnya.
Setiap negara bisa menyelenggarakan vaksinasi gratis, meski ada sejumlah biaya dalam pengiriman. Biaya tersebut bisa ditutup dari pendanaan bank pembangunan multilateral, bank dunia dan sekarang juga open window dengan pendanaan yang cepat dan dapat diakses dari GAVI Dukungan pengiriman COVAX.
"Jadi dananya tak terlalu banyak, yang penting adalah setiap orang memiliki hak dan harus memiliki hak akses ke vaksin terlepas dari masalah keuangan," ujar Lindstrand.
REUTERS