TEMPO.CO, Jakarta - Para aktivis meminta bantuan kelompok etnis bersenjata Myanmar ketika aparat junta militer semakin brutal menindak demonstran penentang kudeta dengan 100 orang lebih tewas dalam sehari.
Tepat di Hari Angkatan Bersenjata pada 27 Maret, 114 orang tewas dalam demonstrasi lanjutan menentang kudeta militer, menjadikannya hari paling berdarah sejak protes antikudeta 1 Februari dimulai.
Dilaporkan Reuters, 29 Maret 2021, seorang saksi mata mengatakan pasukan keamanan junta menembaki orang-orang di pemakaman pada Ahad.
Pada Senin, seorang pria tewas dan beberapa lainnya luka-luka ketika pasukan keamanan menembak di permukiman di Yangon, Democratic Voice of Burma melaporkan.
Kepolisian dan juru bicara junta militer tidak berkomentar terkait penembakan itu.
Ada protes kecil pada Senin di pusat kota Bago, Minhla dan Khin-U, kota selatan Mawlamyine, dan Demoso di timur, portal media lokal melaporkan. Tidak diketahui apakah terjadi bentrok atau tidak.
Berdasarkan penghitungan oleh kelompok advokasi Assistance Association for Political Prisoners, 460 warga sipil telah terbunuh sejak kudeta 1 Februari.
Seorang pria memegang obor saat dia berdiri di belakang barikade selama protes terhadap kudeta militer, di Yangon, Myanmar, Ahad, 28 Maret 2021. REUTERS / Stringer
Komite Mogok Massal Nasional (GSCN), sebuah kelompok protes utama, dalam sebuah surat terbuka di Facebook meminta pasukan etnis minoritas untuk membantu mereka yang menentang penindasan militer.
"Organisasi etnis bersenjata perlu secara kolektif melindungi rakyat," kata kelompok protes itu, dikutip dari Reuters.
Pemberontak dari berbagai kelompok etnis minoritas Myanmar telah berperang dengan pemerintah pusat selama beberapa dekade untuk menuntut otonomi yang lebih besar. Meskipun banyak kelompok telah setuju untuk gencatan senjata, pertempuran telah berkobar dalam beberapa hari terakhir antara tentara dan pasukan di timur dan utara.
Pertempuran hebat meletus pada akhir pekan di dekat perbatasan Thailand antara tentara dan pejuang dari pasukan etnis minoritas tertua Myanmar, Persatuan Nasional Karen (KNU).
Sekitar 3.000 penduduk desa melarikan diri ke Thailand ketika jet militer membom daerah KNU, menewaskan tiga warga sipil, setelah pasukan KNU menyerbu pos militer dan menewaskan 10 orang, kata sebuah kelompok aktivis dan media.
Baca juga: Militer Myanmar Dilaporkan Bakar Hidup-hidup Seorang Warga
Puluhan ribu penduduk desa Karen telah tinggal di kamp-kamp di Thailand selama beberapa dekade dan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mengatakan dia ingin masalah terbaru Myanmar tetap di sana dan tidak menyebar ke perbatasan Thailand.
"Tolong, biarlah ini menjadi masalah internal. Kami tidak ingin eksodus, evakuasi ke wilayah kami, tetapi kami juga akan memperhatikan hak asasi manusia," kata Prayuth kepada wartawan di Bangkok.
Di utara Myanmar, pertempuran meletus pada hari Minggu antara pemberontak etnis Kachin dan militer di daerah pertambangan batu giok Hpakant. Pejuang dari Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) menyerang sebuah kantor polisi dan militer menanggapi dengan serangan udara, media Kachinwaves melaporkan.
Tidak ada laporan korban jiwa.
Baik Kelompok etnis bersenjata Myanmar KNU dan KIA telah menyatakan dukungan untuk gerakan anti-kudeta dan meminta junta militer menghentikan kekerasan terhadap demonstran Myanmar.
REUTERS