TEMPO.CO, Jakarta - Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA), sebuah kelompok etnis bersenjata Myanmar utama yang berbasis di Negara Bagian Kachin, telah menduduki bukit strategis penting di Distrik Bhamo yang sebelumnya dikuasai oleh militer Myanmar, kata juru bicara KIA Kolonel Naw Bu mengatakan kepada The Irrawaddy pada Kamis.
Kolonel Naw Bu mengatakan batalion 30 KIA menggempur pos di Bukit Alaw pada Rabu pukul 5 sore dan mengambil alih bukit itu sekitar pukul 4 pagi pada Kamis, menurut laporan yang dikutip dari The Irrawaddy, 27 Maret 2021.
Bukit Alaw, kata Naw Bu, adalah pos strategis di dekat perbatasan Myanmar dengan Cina. "Dari sudut pandang militer, bukit itu relatif strategis. Pasukan Inggris dulu menduduki bukit ini selama Perang Dunia II. Laporan bahwa kami telah menduduki tiga pos terdepan tidak benar. Selebihnya hanya sekelompok penjaga yang menjaga pos terdepan," kata Kolonel Naw Bu.
Serangan itu dilakukan sebagai pembalasan atas serangan militer di pos terdepan KIA dekat Laiza, yang berada di bawah kendali markas KIA, katanya.
"Pasukan rezim militer menembaki pos kami di Bukit Hpalap (dekat Laiza) dengan artileri sepanjang malam pada tanggal 22 Maret. Mereka menembak lagi ke Batalion 3 di Sadone keesokan harinya. Mereka telah melakukan penyerangan selama dua sampai tiga hari.
"Peluru artileri mereka jatuh di barak kami. Yang lebih buruk, peluru artileri juga jatuh di kamp Hkau Sau (di perbatasan Cina) dan di wilayah Cina," kata Kolonel Naw Bu.
KIA mengklaim bahwa dua peluru artileri jatuh di wilayah Cina pada hari Selasa. Militer Myanmar tidak berkomentar.
Sebelumnya pada 12 Maret Myanmar Now melaporkan KIA menyerbu kamp militer Myanmar yang berbasis di dekat desa Sal Zin.
Militer Myanmar dan KIA sedang dalam proses merundingkan gencatan senjata sebelum kudeta 1 Februari. Kelompok bersenjata Kachin meminta Komando Utara militer untuk tidak membahayakan pengunjuk rasa Kachin yang menentang rezim junta militer.
Ban terbakar di jalan saat protes terhadap kudeta militer berlanjut, di Mandalay, Myanmar 27 Maret 2021. [REUTERS / Stringer]
Sejak kudeta, tentara Myanmar telah bentrok dengan Serikat Nasional Karen dan Dewan Pemulihan Negara Bagian Shan. Kedua kelompok etnis ini sepakat menandatangani Perjanjian Gencatan Senjata Nasional (NCA).
Pada 20 Februari, 10 kelompok etnis bersenjata Myanmar yang telah menandatangani NCA mengumumkan bahwa mereka akan menunda pertemuan politik untuk negosiasi dengan junta.
Pengumuman itu juga mengatakan bahwa kelompok-kelompok itu mendukung Gerakan Pembangkangan Sipil dan bentuk-bentuk perlawanan rakyat lainnya terhadap kudeta militer dan akan mencari cara untuk mendukung mereka.
Baca juga: Kelompok Etnis Bersenjata Myanmar Akan Bertindak Jika Junta Terus Bunuh Pendemo
Sementara pada Sabtu, faksi kelompok etnis bersenjata Myanmar lain, Dewan Pemulihan Negara Bagian Shan/Tentara Negara Bagian Shan-Selatan (RCSS), mengatakan mereka tidak akan berdiam diri dan bakal bertindak jika pasukan junta militer terus membunuh pengunjuk rasa.
"Ini bukan untuk melindungi demokrasi juga, tapi bagaimana mereka merusak demokrasi ...Jika mereka terus menembaki pengunjuk rasa dan menindas orang, saya pikir semua kelompok etnis tidak akan hanya berdiam diri dan tanpa melakukan apa-apa," kata Jenderal Yawd Serk, ketua Dewan Pemulihan Negara Bagian Shan/Tentara Negara Bagian Shan-Selatan (RCSS), kepada Reuters pada 27 Maret, bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata Myanmar.
Setidaknya 50 pengunjuk rasa penentang kudeta militer tewas oleh pasukan keamanan di seluruh Myanmar pada Sabtu, menurut media dan saksi setempat, menurut laporan Reuters, saat militer Myanmar merayakan Hari Angkatan Bersenjata tahunan untuk memperingati perlawanan bersenjata melawan penjajah Jepang pada 27 Maret.