TEMPO.CO, Jakarta - Junta militer Myanmar dan administrasi Aung San Suu Kyi yang mereka kudeta saling berebut posisi dubes di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Dua hari terakhir, keduanya mengirim surat ke PBB, mengklaim sebagai administrasi yang sah untuk menunjuk siapa perwakilan misi diplomatiknya di PBB. Pertanyaannya, siapa yang sebenarnya sah di antara mereka?
PBB hingga sekarang belum menentukan sikap atas dua klaim tersebut. Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, mengatakan Komite Protokol dan Akreditasi PBB tengah mempelajarinya. Namun, apabila mengacu pada Aturan Sidang Umum PBB, penunjukkan perwakilan misi diplomatik harus dilakukan oleh Kepala Negara yang sah secara hukum.
"Sejak kudeta Myanmar yang terjadi pada 1 Februari lalu, kami belum pernah menerima pemberitahuan soal penggantian pemerintahan," ujar Dujarric, dikutip dari Channel News Asia, Rabu, 3 Maret 2021.
Dujarric berkata, junta Militer Myanmar belum pernah mengakui dirinya sebagai pemerintahan yang sah ke PBB dalam bentuk apapun. Bahkan, ketika mengirim surat ke PBB soal pemecatan Dubes Myanmar, surat itu tidak ditandatangani.
Jika berpegang pada aturan Sidang Umum PBB, maka Kyaw Moe Tun masih menjadi Dubes Myanmar untuk PBB yang sah. Pada Senin kemarin, ia mengklaim masih menjadi Dubes Myanmar aktif di PBB walaupun Militer Myanmar mengklaim telah memecatnya pekan lalu.
Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun mengacungkan tiga jari di akhir pidatonya di depan Majelis Umum di mana ia memohon tindakan internasional dalam membatalkan kudeta militer di negaranya seperti yang terlihat dalam tangkapan layar yang diambil dari sebuah video, di wilayah Manhattan di New York City, New York, AS, 26 Februari 2021. [United Nations TV / Handout via REUTERS]
Kyaw Moe Tun, dalam klaimnya, berpegang pada aturan Sidang Umum PBB. Ia menyampaikan, dirinya ditunjuk secara legal oleh Pemerintahan Myanmar yang sah (administrasi Aung San Suu Kyi). Oleh karenanya, menurutnya, dirinya harus diakui juga sebagai Dubes Myanmar yang sah di PBB.
"Pelaku kudeta juga pada dasarnya tidak memiliki otoritas untuk menyangkal penugasan negara yang sifatnya legal," ujar surat Kyaw Moe Tun pada hari Senin kemarin. Sebagaimana diketahui, Kyaw Moe Tun menjadi sorotan karena meminta PBB mengintervensi kudeta Myanmar.
Kasus Myanmar ini bukan pertama kalinya PBB berhadapan dengan dua klaim yang saling kontradiktif. Pada September 2021, PBB menghadapi situasi serupa ketika terjadi pergantian kepemimpinan di Libya. PBB akhirnya mengesahkan pemerintahan yang baru karena mereka mendapat dukungan dari Amerika, Rusia, Cina, dan Uni Eropa.
Apabila belajar dari kasus Libya, maka Kyaw Moe Tun perlu mendapat dukungan berbagai negara untuk mempertahankan posnya di PBB. Sejauh ini, ia sudah mendapat dukungan itu. Banyak negara kompak mengecam kudeta Myanmar dan memuji langkah yang diambil Kyaw Moe Tun.
Salah satu pujian datang dari Dubes Amerika untuk PBB Linda Thomas-Greenfield. Ia mengaku sudah bertemu dengan Kyaw Moe Tun dan membicarakan situasi di Myanmar. "Kami menyampaikan dukungan Amerika terhadap warga Myanmar dan upaya untuk mengembalikan demokrasi di sana," ujar Thomas-Greenfield.
Baca juga: Retno Marsudi Suarakan Keprihatinan Kondisi di Myanmar
ISTMAN MP | CHANNEL NEWS ASIA