TEMPO.CO, Jakarta - Para aktivis dan pengunjuk rasa penentang kudeta di Myanmar bersembunyi saat malam hari karena takut tentara menculik atau menggerebek kediaman mereka saat malam atau dini hari.
Junta militer telah memadamkan internet yang berlangsung selama enam malam terakhir, jam malam digital sekarang berlaku bersamaan dengan jam malam fisik yang diberlakukan di kota-kota besar mulai pukul 8 malam sampai jam 4 pagi.
Dikutip dari CNN, 22 Februari 2021, banyak warga Myanmar mengatakan mereka takut diseret dari tempat tidur mereka pada penggerebekan malam atau dini hari, yang telah sering terjadi sejak pengambilalihan militer, dan ditahan atau dituntut dengan undang-undang untuk membungkam kritik.
Beberapa pengunjuk rasa, yang pada siang hari tanpa rasa takut berbaris di jalan-jalan, bersembunyi di malam hari, berpindah dari rumah ke rumah untuk menghindari penangkapan.
"Ini pertarungan mental dan juga fisik," kata Thinzar Shunlei Yi, 29 tahun, seorang aktivis hak asasi manusia terkemuka yang bersembunyi beberapa hari setelah kudeta.
Yi mengatakan tidak tahu apa yang akan terjadi setiap malam. Dia menggambarkan ini seperti "perang psikologis".
"Setiap pagi kami harus mengecek: apakah kami akan menghadiri (acara) ini? Karena apa pun bisa terjadi di jalanan kapan saja. Tapi di luar kami merasa bersatu dan kuat," ujarnya.
Tentara berdiri di luar Bank Sentral Myanmar selama protes terhadap kudeta militer, di Yangon, Myanmar, 15 Februari 2021. [REUTERS / Stringer]
Organisasi hak asasi manusia Burma, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), pada hari Kamis mengatakan telah memverifikasi 521 penangkapan terkait kudeta Myanmar sejak 1 Februari, dengan 477 dari orang-orang itu tetap dalam penahanan atau menghadapi tuntutan yang belum diselesaikan.
Di antara mereka adalah warga sipil, aktivis, jurnalis, penulis, biksu, pemimpin mahasiswa, serta politisi dan pejabat di pemerintahan yang dipimpin oleh Liga Nasional untuk Partai Demokrasi (NLD) yang digulingkan, menurut AAPP.
Dari kota-kota besar seperti Yangon dan Mandalay, hingga desa-desa terpencil, orang-orang di seluruh Myanmar memprotes rezim militer baru, mempertaruhkan penangkapan atas perlawanan mereka. Meski demonstrasi didominasi oleh kaum muda, seperti Thinzar Shunlei Yi, mereka pun didukung oleh banyak generasi tua yang masih ingat bagaimana keadaan di bawah pemerintahan militer sebelumnya.
Protes nasional terhadap pemerintahan militer Myanmar telah menutup bisnis di Myanmar pada Senin, meskipun ada kekhawatiran kekerasan setelah pihak berwenang memperingatkan bahwa konfrontasi bisa berujung maut.
Banyak pegawai negeri tidak bekerja sebagai bagian dari gerakan pembangkangan sipil dan layanan pemerintah lumpuh. Militer menuduh pengunjuk rasa melakukan intimidasi dan memprovokasi kekerasan.
Baca juga: Indonesia Dorong ASEAN untuk Desak Junta Militer Gelar Pemilu Myanmar yang Adil
Dikutip dari Reuters, Facebook mengatakan pada hari Senin bahwa mereka telah menghapus halaman MRTV karena melanggar standarnya, termasuk kebijakan kekerasan dan hasutannya. Pada hari Minggu, Facebook menghapus halaman utama militer karena alasan yang sama.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan di Twitter bahwa Amerika Serikat akan terus mengambil tindakan tegas terhadap pihak berwenang yang menindak pengunjuk rasa secara brutal.
Inggris, Jerman dan Jepang mengutuk kekerasan tersebut dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak militer untuk menghentikan penindasan.
Tentara merebut kekuasaan setelah menuduh ada kecurangan dalam pemilu 8 November di mana partai Aung San Suu Kyi mengalahkan partai pro-militer. Tentara menahan Suu Kyi dan sebagian besar pimpinan partai. Sebelum kudeta militer terjadi komisi pemilihan umum Myanmar membantah ada kecurangan dalam pemilu.
CNN | REUTERS