TEMPO.CO, Jakarta - Situasi di Myanmar masih memanas buntut dari kudeta militer pada 1 Februari 2021. Kelompok Civil Disobedience Movement pada Minggu, 21 Februari 2021 menyerukan untuk melakukan aksi mogok kerja pada Senin, 22 Februari 2021.
Kelompok Civil Disobedience Movement menyerukan kepada masyarakat agar berkumpul dan membuat sebuah revolusi musim panas. Stasiun televisi MRTV pada Minggu malam mewartakan pemerintahan militer Myanmar (Junta) memperingatkan melarang aksi mogok massa itu.
“Ditemukan bahwa para pengunjuk rasa telah meningkatkan hasutan mereka terhadap kerusuhan dan anarki pada 22 Februari 2021. Unjuk rasa saat ini menghasut orang-orang, khususnya remaja ke jalur konfrontasi dimana mereka bisa kehilangan nyawa,” demikian peringatan dari militer Junta.
Demonstran memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, 17 Februari 2021.[REUTERS/Stringer]
Baca juga: Etnis Minoritas di Myanmar Ikut Unjuk Rasa Menolak Kudeta Militer
Militer Myanmar dalam peringatannya juga menyalahkan demonstran, yang diduga diikuti pula oleh geng-geng kriminal, yang melakukan tindakan kekerasan saat demonstrasi sehingga membuat aparat keamanan harus melepaskan tembakan.
Sejauh ini, unjuk rasa di Myanmar telah memakan tiga korban jiwa. Unjuk rasa di Myanmar sebagian besar berjalan damai, non-kekerasan. Hanya sesekali demonstran menyalakan api dan melemparkan botol ke arah aparat kepolisian ketika terjadi provokasi.
Di Kota Yangon, pada Minggu malam, 21 Februari 2021, truk-truk hilir-mudik di jalan-jalan sambil mengumumkan agar masyarakat jangan mengikuti unjuk rasa pada Senin, 22 Februari 2021. Masyarakat juga diminta untuk menghormati larangan kumpul-kumpul yang diikuti oleh lebih dari lima orang.
Yangon adalah salah satu kota terbesar di Myanmar. Larangan acara kumpul-kumpul diterbitkan tak lama setelah kudeta, namun tidak diberlakukan di Yangon, yang selama dua pekan terakhir telah menjadi pusat unjuk rasa terbesar hampir setiap hari.
Sumber: channelnewsasia.com