TEMPO.CO, - Ratusan aktivis lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ) ikut berunjuk rasa menentang kudeta Myanmar. Mereka mondar di persimpangan jalan dengan pakaian tradisional Myanmar dan mengenakan payung warna-warni.
"Kami datang bersama dengan semua orang di negara kami karena kami melawan situasi ini," kata Shin Thant, membawa payung berwarna lavender untuk melindungi dirinya dari sinar matahari, dikutip dari Channel News Asia, Sabtu, 20 Februari 2021.
Aktivis transgender terkenal itu diapit oleh orang lain di komunitasnya, beberapa mengenakan atasan tradisional Myanmar dan rok panjang kering yang disebut longyi. Yang lainnya memilih tampilan yang lebih modern, dengan gaun pengantin berlapis-lapis atau pakaian klub yang berkilauan.
Ratusan pendukung berbaris membawa plakat berwarna pelangi dengan cetakan salut tiga jari, simbol perlawanan yang dipinjam dari trilogi film Hunger Games. "Kami, komunitas LGBTQ, tidak akan melahirkan dan generasi kami berakhir bersama kami," kata Shin Thant.
"Tetapi saya ingin memberi tahu mereka yang akan memiliki anak bahwa Anda harus berpartisipasi dalam revolusi ini," ucap dia.
Shin Thant adalah mantan ratu kecantikan dan memenangkan Miss Trans Grand International Myanmar pada 2018. Ia dilaporkan pernah menghadapi pelecehan dari pihak berwenang di masa lalu.
Komunitas LGBTQ masih menghadapi diskriminasi yang meluas di Myanmar. Hubungan sesama jenis kerap dikriminalisasi berdasarkan hukum pidana dan transgender sering dilecehkan oleh pihak berwenang.
Kehadiran kaum LGBTQ ini menambah lapisan masyarakat Myanmar yang menolak kudeta militer. Kalangan masyarakat lain seperti pekerja kereta api, guru, perawat, hingga biksu lebih dulu menyuarakan pembebasan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi, yang digulingkan dalam kudeta militer pada 1 Februari.
BACA JUGA: Penentang Kudeta Myanmar Senang Inggris dan Kanada Beri Sanksi ke Militer
Sumber: CHANNEL NEWS ASIA