TEMPO.CO, Jakarta - Pengalaman Cina memveto resolusi atas krisis Rohingya membuat berbagai pihak curiga mereka mendukung kudeta Myanmar. Menanggapi anggapan itu, Kementerian Luar Negeri Cina menegaskan bahwa mereka tidak mendukung kudeta Myanmar dalam bentuk apapun.
"Teori-teori yang beredar tidak benar. Sebagai negara tetangga Myanmar, kami berharap pihak-pihak di Myanmar bisa dengan cepat menyelesaikan perbedaannya demi stabilitas sosial maupun politik," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Wang Wenbin, dikutip dari Channel News Asia, Kamis, 4 Februari 2021.
Seperti diberitakan sebelumnya, situasi di Myanmar memanas sejak Senin kemarin. Militer Myanmar, yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing, merebut pemerintahan yang ada. Hal itu dimulai dengan menangkap sejumlah pejabat negara Myanmar dan berlanjut hingga pemecatan para menteri yang bertugas. Beberapa yang mereka tangkap adalah Penasehat Negara Aung San Suu Kyi serta Presiden Win Myint.
Adapun bibit kudeta Myanmar ini sudah terasa sejak tahun lalu ketika partai militer Myanmar, USDP (Union Solidarity and Development Party), kalah dari partai sipil pimpinan Aung San Suu Kyi, NLD (National League for Democracy). USDP menganggap ada kecurangan di pemilu tersebut sehingga menyakini pemerintahan yang ada sekarang tidak sah.
Berbagai pihak menentang kudeta tersebut, termasuk organisasi internasional seperti PBB. Melalui Dewan Keamanan PBB, mereka mencoba menyiapkan resolusi atas kudeta tersebut. Namun, pada Selasa kemarin, belum ada kata sepakat soal pernyataan sikap bersama atau resolusi. Salah satu penyebabnya, karena Cina meminta waktu tambahan untuk berpikir.
Di tahun 2017, ketika krisis Rohingya terjadi di Myanmar, Cina memveto resolusi dari DK PBB. Bersama Rusia, Cina menganggap resolusi yang ada sama saja dengan mencampuri urusan internal negara lain. Bagi Cina, hal itu tidak pantas. Sikap itu yang kemudian melandasi anggapan Cina mendukung kudeta kali ini.
Baca juga: Terhalang Cina dan Rusia, DK PBB Belum Tentukan Sikap Soal Kudeta Myanmar
Presiden China Xi Jinping, mengunjungi sebuah kawasan industri yang memproduksi cetakan dan suku cadang otomotif kelas atas di Ningbo, Provinsi Zhejiang, China timur, 29 Maret 2020. Presiden Xi melakukan inspeksi terhadap proses pelanjutan kembali pekerjaan dan produksi di Zhejiang. Xinhua/Yan Yan
Hal lain yang mendukung anggapan itu adalah kunjungan Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi, ke Myanmar bulan lalu. Dalam kunjungan itu, Wang Yi bertemu dengan Jenderal Min Aung Hlaing yang memimpin operasi kudeta Myanmar.
Wang Wenbin tahu betul bahwa hal-hal itu akan membuat negaranya dicurigai, namun ia menegaskan kembali bahwa kecurigaan itu tidak benar. Soal permintaan tambahan waktu di DK PBB, misalnya, lebih karena Cina tidak ingin salah langkah dalam menyikapi kudeta Myanmar.
"Kami mencoba memahami lebih jauh situasi di sana," ujarnya.
Sebagai catatan, Myanmar adalah bagian penting dari rencana Belt and Road Initiative Cina. Dalam rencana Presiden Cina Xi Jinping untuk membentuk 'Jalur Sutera' perdagangan baru itu, Myanmar akan dilalui jalur kereta api cepat dari Yunnan dengan nilai proyek US$8,9 miliar.
Dalam penjelasannya soal proyek tersebut, Xi Jinping berjanji bahwa Cina akan terus mendukung pemerintah Myanmar dan warganya. Salah satunya, dalam hal menentukan bentuk pengembangan yang mereka inginkan.
"Kami siap mempercepat integrasi antara proyek Belt and Road dengan rencana pengembangan di Myanmar," ujar Xi Jinping tahun lalu, ketika berkunjung ke Myanmar untuk 70 tahun hubungan diplomatik mereka.
Baca juga: Kudeta Myanmar Demi Ambisi Jenderal
ISTMAN MP | CHANNEL NEWS ASIA