TEMPO.CO, Jakarta - Departemen Kehakiman Amerika, pada Rabu kemarin waktu setempat, memperkarakan tujuh orang atas berbagai kasus peretasan. Lima di antaranya adalah warga Cina dan sisanya adalah warga Malaysia.
Untuk hacker Cina, jaksa federal menyebut mereka telah meretas lebih dari 100 perusahaan di Amerika dan luar negeri. Perusahaan-perusahaan yang mereka sasar meliputi pengembang piranti lunak, media sosial, manufaktur komputer, pengembang game, hingga organisasi aktivis di Hong Kong. Adapun Amerika menyakini Pemerintah Cina terlibat dalam kapasitas tertentu.
"Kami menyakini bahwa otoritas Cina, paling tidak, bisa mengikuti langkah kami untuk menegakkan hukum terhadap para peretas. Namun, mereka memilih untuk tidak melakukannya," ujar Deputi Jaksa Agung Jeffrey Rosen, dikutip dari kantor berita Reuters, Kamis, 17 September 2020.
Rosen melanjutkan, keyakinan tersebut berasal dari hasil pemeriksaan kelima hacker Cina. Salah satu di antaranya menyombongkan koneksi yang ia miliki dengan Kementerian Keamanan Negara Cina. Dengan koneksi itu, tersangka yakin dirinya akan dilindungi jika hal-hal tak diinginkan terjadi.
Kedutaan Besar Cina di Amerika belum menanggapi klaim terkait. Adapun pemerintah negeri tirai bambu tersebut sudah beberapa kali membantah melindungi ataupun menyokong para hacker Cina walaupun ada banyak kasus yang berkaitan dengan mereka.
"Tidak ada yang namanya negara bertanggungjawab apabila melindungi penjahat siber dengan korban di seluruh penjuru dunia," ujar Rosen.
Terkait dua tersangka asal Malaysia, mereka diperkarakan karena bersekongkol dengan dua peretas asal Cina. Mereka dikatakan mendapat keuntungan dari peretasan pengembang game yang berada di Amerika, Prancis, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan.
Keduanya, yang bernama Wong Ong Hua dan Ling Yang Ching, beroperasi atas nama perusahaan SEA Gamer Mall. Perusahaan terkait belum memberikan tanggapan ketika diminta.
Barang bukti yang berhasil dikumpulkan Amerika meliputi ratusan akun, server, nama domain, serta situs yang digunakan hacker untuk mencuri data dari target peretas. Dikutip dari Reuters, Pemerintah Amerika bekerja dengan Microsoft untuk memastikan insiden serupa tak terulang.
ISTMAN MP | REUTERS