TEMPO.CO, Jakarta - Aksi unjuk rasa atas kematian George Floyd memanas. Dikutip dari CNN, unjuk rasa tersebut sudah menyebar ke 30 kota Amerika. Sebagai respon, 40 kota menerapkan jam malam dan pasukan Garda Nasional diterjunkan ke 15 negara bagian serta Washington DC.
Salah satu kota yang menerapkan jam malam adalah Oklahoma. Menurut Pemerintah Kota setempat, jam malam diterapkan karena unjuk rasa yang terjadi sudah berujung pada aksi kekerasan di mana demonstran dan aparat saling serang. Adapun jam malam akan diterapkan dari jam 10 malam hingga jam 5 pagi.
"Kerumunan di dekat Kantor Kepolisian Oklahoma telah dibubarkan. Unjuk rasa telah berubah menjadi aksi kekerasan karena berbagai objek dilemparkan ke personil kepolisian. Kami menyatakan aksi tersebut telah melanggar hukum," ujar pernyataan pers Kepolisian Oklahoma sebagaimana dikutip dari CNN, Senin, 1 Juni 2020.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, aksi unjuk rasa yang banyak terjadi di Amerika saat ini adalah imbas dari kematian George Floyd. Floyd adalah warga kulit hitam di Minneapolis, Minnesota yang meninggal setelah kepolisian setempat menindih lehernya dengan lutut beberapa hari lalu.
Floyd, yang lehernya tertindih, meronta-ronta meminta tolong namun polisi yang menahannya tidak menggubris. Kepolisian setempat baru panik setelah mengetahui Floyd tak lagi bernafas di bawah mereka. Mereka yang terlibat di peristiwa tersebut telah dipecat dari Kepolisian Minneapolis dan diperkarakan secara hukum.
Walau mereka yang terlibat telah diperkarakan, aksi tersebut memicu serangkaian unjuk rasa dan kerusuhan di berbagai tempat. Di beberapa negara bagian, pengunjuk rasa sampai bentrok dengan personil Kepolisian yang berujung baku hantam, pembakaran, dan aksi penjarahan.
Selain di Oklahoma, jam malam juga diterapkan di Minneapolis, tempat terjadinya perkara George Floyd. Kepolisian Minneapolis menyatakan bahwa hal itu dilakukan untuk meredam aksi unjuk rasa yang telah berujung rusuh, mulai dari penjarahan hingga pembakaran.
Perihal apa penyebab kerusuhan, aparat Minneapolis menuding ada agitator di antara para demonstran. Namun, mereka tidak menyebut agitator itu dari komunitas kulit hitam, melainkan dari komunitas kulit putih.
"Kami menyakini bahwa kelompok supremasi putih berada di antara para demonstran di Twin Cities serta St. Paul Minneapolis. Mereka adalah agitator. Kami mencoba membubarkan mereka karena bisa berujung aksi kekerasan," ujar Komisioner Lembaga Permasyarakatan Minneapolis, Paul Schnell. Schnell menambahkan bahwa kelompok Anti-Fasis, Antifa, juga ikut dalam unjuk rasa.
ISTMAN MP | CNN