TEMPO.CO, Jakarta - Para pengunjuk rasa di 12 kota di Amerika Serikat pada Sabtu, 30 Mei 2020, mengabaikan aturan jam malam. Mereka menumpahkan kemarahan atas kebrutalan aparat kepolisian dan kematian George Floyd, laki-laki kulit hitam warga negara Amerika Serikat yang meninggal dicekik polisi berkulit putih.
“Kami tak butuh jam malam, kami butuh perubahan,” kata Mia, 20 tahun, warga negara Mineapolis, seperti dikutip dari aljazeera.com.
Baca Juga:
Demonstran yang marah pada Sabtu itu berjanji tidak akan membubarkan diri sampai empat aparat kepolisian yang terlibat dalam kematian Flyod dituntut ke meja hukum. Floyd meninggal pada Senin, 25 Mei 2020, di tengah upaya kepolisian menegakkan aturan jam malam mulai pukul 8 malam.
Ketika memasuki jam malam, asap tebal terlihat membumbung ke angkasa. Beberapa demonstran ada yang berkonfrontasi dengan polisi.
Baca Juga:
Sejauh ini baru satu aparat kepolisian, yakni Derek Chauvin, yang ditahan terkait kematian Floyd. Chauvin, yang berkulit putih, menekan leher Floyd dengan lututnya selama Sembilan menit. Padahal Floyd sudah memohon karena dia tak bisa bernafas. Aparat kepolisian yang ada disekitar lokasi kejadian mendesak Chauvin untuk melepaskan Floyd.
Pada Jumat, 29 Mei 2020, Chauvin dituntut dengan pembunuhan tingkat tiga. Tiga aparat kepolisian yang terlibat dalam kejadian ini yakni Thomas Lane, Tou Thao dan J Alexander Kueng, dibebaskan, di mana pembebasan ini membuat marah para demonstran yang menuntut ketiganya agar dimintai pertanggung jawaban.
Garda Keamanan Nasional Amerika Serikat mengatakan mereka mengerahkan 4.100 aparat keamanan ke beberapa kota, termasuk Minneapolis, demi keamanan semua warga. Di beberapa titik, jumlah kepolisian anti-huru-hara yang dikerahkan lebih banyak.
Polisi terpaksa menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa yang berkerumun. Beberapa demonstran yang marah atas kematian Floyd, ada yang ditahan. Kendati begitu, para demonstran tampak tidak terpengaruh.