TEMPO.CO, Jakarta - Laporan yang dipublikasi Institut Internasional Press atau IPI mengungkap lebih dari 120 wartawan masih ditahan di sejumlah penjara di Turki. Situasi yang dihadapi media di Turki juga belum mengalami perkembangan yang lebih baik sejak Turki mencabut status gawat darurat negara itu dua tahun lalu.
“Dibalik angka – angka itu terbentang sebuah cerita mengerikan terkait kekerasan pada hak-hak fundamental dengan penahanan puluhan jurnalis atas tuduhan terorisme. Mereka ditahan selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun, dimana banyak kasus tanpa dakwaan,” demikian bunyi laporan IPI, seperti dikutip dari reuters.com, Rabu, 20 November 2019.
Peserta memilih potret korban tewas kudeta militer dalam peringatan di Jembatan Bosphorus, Istanbul, Turki, 15 Juli 2017. Sejak kudeta tahun lalu, 150.000 anggota militer dipecat atau ditangguhkan. REUTERS/Osman Orsal
Turki mendeklarasikan status gawat darurat tak lama setelah terjadi sebuah upaya kudeta pada 2016. Imbas dari percobaan kudeta itu, Ankara memecat atau membekukan jabatan 150 ribu hakim, akademisi, anggota militer, PNS dan profesi lainnya. Dari peristiwa ini pula, lebih dari 77 ribu orang dipenjara.
Ratusan wartawan dihadapkan ke persidangan sejak kudeta terjadi. Umumnya dikenai tuduhan melakukan terorisme. IPI dalam laporannya menyebut, jumlah wartawan yang ditahan telah berkurang dari 160 orang menjadi sekitar 120 orang.
IPI dalam laporannya menyebut para wartawan dipenjara sebagai konsekuensi penindasan yang diperpanjang dan politisasi media. IPI juga menyebut Turki telah menjadi penjara jurnalis terkemuka yang tak terbantahkan di dunia selama hampir satu dekade. Pemerintah Turki belum mau berkomentar mengenai laporan lembaga pengawas media dunia itu, yang dipublikasi pada Selasa, 19 November 2019.
Menurut IPI, lembaga peradilan Turki telah dibanjiri banyak kasus sejak kudeta meletup, namun lembaga peradilan belum mampu mengevaluasi kasus tersebut dengan sepatutnya karena ada tiga hakim masuk daftar mereka yang dicopot dari jabatan oleh Ankara atas dugaan memiliki keterkaitan dengan upaya kudeta.
Sejumlah kritik menyebut Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah menggunakan upaya kudeta sebagai sebuah dalih untuk menekan perbedaan pendapat dan memperkuat cengkeramannya atas kekuasaan. Segala tuduhan itu dibantah Ankara.