TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Lebanon Saad al-Hariri pada Selasa, 29 Oktober 2019, mengumumkan pengunduran diri. Keputusan itu diambil setelah gelombang unjuk rasa selama seminggu hingga melumpuhkan negara itu.
Dikutip dari rt.com, dalam gelombang unjuk rasa itu masyarakat menuding sejumlah otoritas melakukan korupsi hingga menyebabkan perekonomian negara lumpuh.
"Hari ini saya menemui sebuah jalan buntu," kata Hariri, dalam pengunduran dirinya yang disiarkan lewat televisi.
Saad al-Hariri. REUTERS
Dalam pidato pengunduran dirinya itu, Hariri mengingatkan agar partai-partai politik yang ada di Lebanon bertanggung jawab menjaga negara itu. Pengunduran diri itu bertentangan dengan keinginan Hizbullah, salah satu kelompok paling berpengaruh di Lebanon, yang berkeras agar Hariri tetap berada di posnya demi menghindari kevakuman kekuasaan.
Sebelumnya pada pekan lalu, Hariri mengumumkan sebuah paket reformasi ekonomi dan sejumlah tindakan yang akan diambil untuk memberantas korupsi. Langkah itu dilakukan setelah ribuan orang berunjuk rasa menutup jalan dan menyerukan agar dilakukan sebuah perubahan.
Namun tindakan yang diambil Hariri itu dinilai masyarakat masih belum cukup sehingga mereka berkomitmen untuk terus melakukan protes. Sedangkan oposisi yang ada di kabinet menyalahkan Hariri, 49 tahun, berpihak pada demonstran.
Ketegangan di ibu kota Beirut mencapai puncaknya pada Selasa, 29 Oktober 2019, ketika terjadi bentrokan antara para pendukung Hizbullah dengan demonstran anti-pemerintah.
Lebanon terpuruk dalam krisis ekonomi, dimana tingkat utang negara mencapai tingkat tertinggi. IMF memperkirakan defisit fiskal Lebanon akan mencapai 9,8 persen dari GDP pada tahun ini dan 11,5 persen pada 2020.