TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah besar media di Australia melakukan aksi protes menentang semakin ketatnya undang-undang kerahasiaan informasi yang diloloskan oleh pemerintah yang bisa mengancam kebebasan pers dan hak publik mendapatkan informasi. Aksi protes dilakukan dengan cara menghitamkan berita di halaman depan dan dibubuhkan stempel ‘rahasia’.
Dikutip dari rt.com, Senin, 21 Oktober 2019, aksi protes ini diorganisir oleh Koalisi Hak untuk Tahu yang mendapat dukungan dari banyak televisi, radio, surat kabar dan outlet media digital. Secara koleltif, media di Australia menentang undang-undang keamanan nasional yang dinilai terlalu mengekang pers dengan cara membuat sebuah budaya rahasia di Australia. Dalam dua dekade terakhir, sekitar 60 undang-undang terkait kerahasiaan telah diloloskan.
Every time a government imposes new restrictions on what journalists can report, Australians should ask: 'What are they trying to hide from me?' - Why I've taken a stand against increasing government secrecy in Australia https://t.co/BQek4KvKyB #righttoknow pic.twitter.com/cpXJEvz7pj
— Michael Miller (@michaelmillerau) 20 Oktober 2019
Direktur Pelaksana ABC, David Anderson, memperingatkan Australia sedang berada dalam risiko menjadi negara demokrasi paling diam-diam (rahasia). Media – media di Negara Kangguru berpandangan pemerintah sedang mencoba menghukum para pembocor, mengkriminalisasikan wartawan dan melanggar hak-hak publik terhadap akses informasi.
Aksi protes dengan menghitamkan halaman muka surat kabar dilakukan setelah serangkaian penggeledahan pada kantor Australian Broadcasting Corporation atau ABC dan News Corp Australia. Penggeledahan di kantor News Corp Australia dilakukan menyusul publikasi beberapa artikel yang menceritakan secara detail dugaan kejahatan perang dan mata-mata dalam negeri yang dilakukan pemerintah.
Tiga wartawan terancam menghadapi proses peradilan menyusul penggeledahan atas dugaan menjadi bagian dari pembocor lewat tulisan yang dipublikasi tersebut. Selama investigasi pada media-media ini, terungkap agen mata-mata Australia diduga telah menyadap beberapa pejabat pemerintah di Timor Leste dalam sebuah proses negosiasi sumber daya alam pada 2004. Sedangkan Richard Boyle, staf pajak Australia, yang membocorkan data terancam hukuman hingga 161 tahun penjara. Dia didakwa menyalah gunakan kekuasaan dari otoritas pajak Australia.
Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, mengatakan kebebasan pers itu penting. Namun hal ini tetap ada aturan hukumnya karena tidak ada orang yang kebal hukum.