TEMPO.CO, Jakarta - Delegasi Taliban bertemu perwakilan khusus Cina untuk Afganistan di Beijing guna membahas tentang perdamaian Taliban dengan Amerika Serikat yang dibatalkan sepihak oleh Presiden Donald Trump pada awal September lalu.
Suhail Shaheen, juru bicara Taliban di Qatar melalui akun Twitter menjelaskan tentang pertemuan delegasi Taliban yang berjumlah 9 orang dengan perwakilan khusus Cina untuk Afganistan, Deng Xijun pada hari Minggu, 22 September 2019.
"Perwakilan khusus Cina mengatakan kesepakatan AS-Taliban merupakan kerangka kerja yang baik untuk menyelesaikan masalah Afganistan dengan damai dan mereka mendukung hal itu," kata Shaheen seperti dilaporkan Deutsch Welle dan Reuters.
Shaheed kemudian mencuit bahwa Mullah Baradar, ketua delegasi Taliban mengatakan, telah menggelar dialog dan mencapai kesepakatan yang komprehensif.
"Sekarang, jka presiden AS tidak dapat berkomitemen dengan perkataannya dan melanggar janjinya, maka dia bertanggung jawab atas gangguan dan pertumpahan darah di Afganistan," kata Baradar sebagaimana cuitan Shaheen.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang membenarkan bahwa Baradar dan sejumlah asistennya datang ke Cina untuk bertukar pikiran dalam beberapa hari ini," kata Geng, sebagaimana dilaporkan Channel News Asia.
"Pejabat kementerian luar negeri terkait bertukar pendapat dengan Baradar terkait degan situasi di Afganistan dan mempromosikan perdamaian Afganistan dan proses rekonsiliasi," ujar Geng.
Ini merupakan kunjungan kedua Taliban ke Cina. Kunjungan pertama pada Juni lalu sebelum pembicaraan damai Taliban dengan AS berjalan alot.
Presiden Trump membatalkan rencana pertemuan dengan perwakilan Taliban di Camp David setelah terjadi serangan bom di Kabul yang menewaskan seorang tentara Amerika Serikat dan 11 orang lainnya. Pertemuan itu ditujukan untuk mengakhiri perang Afganistan - Taliban yang telah berkecamuk selama 18 tahun.
Cina diduga menyambut delegasi Taliban karena berkepentingan dengan Afganistan yang wilayah bagian baratnya, provinsi Xinjiang terletak di perbatasan kedua negara. Cina selama ini sangat khawatir dengan jaringan kelompok milisi extrimis islan di Xinjiang, tempat di mana mayoritas Muslim Uighur yang berbahasa Turki tinggal di sini.