TEMPO.CO, Jakarta - Jalan aspal yang dilewati bus rombongan PBB ke Desa Jono Oge tidak sama seperti sebelum gempa Palu setahun lalu. Jalan aspal seharusnya lurus dan tidak berkelok. "Dulu jalan ini lurus sebelum gempa tapi berkelok karena tanah bergeser," kata rekan jurnalis setempat kepada Tempo yang ikut rombongan PBB.
Desa Jono Oge di Kabupaten Sigi adalah salah satu wilayah yang terdampak likuifaksi. Desa itu seperti mati. Tak berpenghuni. Jalannya ditimbun dengan bekas puing-puing bangunan yang terpaksa dirobohkan setelah gempa karena berisiko. Puing bekas tembok kini dilindas kendaraan yang lewat. Karenanya, jalan bekas puing itu menyebarkan debu putih ketika kendaraan lewat atau diembus angin.
Desa 2 Jono Oge tampak seperti wilayah lapang dengan gundukan lumpur yang mengeras dan bergelombang. Tak dinyana, ternyata pernah ada ratusan rumah berdiri.
"Dulu wilayah ini adalah ratusan rumah sebelum likuifaksi. Pohon-pohon kelapa tadinya berada di bukit sana dan karena likuifaksi bergeser beberapa kilometer sampai ke tanah permukiman," kata Ikram, warga Palu dan wartawan setempat, sambil menunjuk ke arah bukit dan pohon-pohon kelapa yang tampaknya sudah terkubur setengah batang karena tanah likuifaksi. Ada juga puing rumah yang masih berdiri nyaris roboh sela beberapa ratus meter jauhnya.
Penduduk desa yang selamat kini tak bisa lagi menempati tanah mereka lagi. Papan imbauan dari pemerintah daerah terpasang agar penduduk desa tidak lagi bermukim di kawasan zona terlarang (ZRB 4 Likuifaksi).
Ada empat desa di Provinsi Sulawesi Tengah yang terkena likuifaksi, yakni kelurahan Petobo, Kelurahan Balaroa, Desa Sibalaya, dan Desa Jono Oge.
Detik-detik likuifaksi gempa Palu
"Saya sekitar jam 3 sore balik ada goyang di pondok saya. Saya waktu itu tinggal di kebun," kata Ibu Aisyah, salah seorang warga Desa Jono Oge, menceritakan detik-detik gempa yang mengguncang Palu kepada Tempo.
"Jam 5 ada kemenakan minta antar ke pabrik tahu, saya antar ke perbatasan Sidera dan Jono Oge. Pas sampai rumah sekitar setengah menit saya merasakan gempa, kita langsung ke luar. Saya melihat tanah keluar lumpur," lanjut Aisyah.
Suaminya menyuruh Aisyah untuk lari menjauhi tanah. Tapi Aisyah menyempatkan diri kembali ke pondok untuk mengambil telepon genggam.
"Saya melihat tanah sudah bergelombang," beber Aisyah. Tiba di kantor desa Aisyah dan suaminya bingung melarikan diri kemana.
Aisyah dan suaminya menyelamatkan diri ke Pembewe, area yang lebih tinggi. Dua minggu kemudian Aisyah kembali ke Jono Oge mendapati rumah papannya hancur dengan lantai retak.
Aisyah, korban gempa dan salah satu penerima program Padat Karya berterima kasih sambil terisak ketika kedatangan rombongan PBB. Aisyah tidak bisa bicara banyak dan hanya mengusap air mata dengan kerudung cokelatnya.