TEMPO.CO, Mexico City – Jaksa Agung Meksiko sedang mempertimbangkan untuk melakukan gugatan hukum ke pengadilan dalam kasus penembakan massal El Paso, Texas, Amerika Serikat, yang disebut sebagai tindakan terorisme.
Menteri Luar Negeri Meksiko, Marcelo Ebrard, mengatakan ini dilakukan karena tujuh orang Meksiko tewas dalam serangan di toko Walmart, Texas, Amerika, yang menewaskan 20 orang.
“Bagi Meksiko, pelaku ini adalah seorang teroris,” kata Ebrard dalam jumpa pers seperti dilansir Reuters, Senin, 5 Agustus 2019.
Ebrard mendesak AS bersikap tegas dan lugas terhadap kejahatan yang dimotivasi kebencian.
Tindakan legal yang dimaksud adalah meminta pemerintah AS untuk mengekstradisi pelaku ke Meksiko untuk diadili.
Otoritas AS mengutip isi sebuah pernyataan sikap atau manifesto yang dibuat pelaku penembakan massal sebagai bukti bahwa pembantaian ini dimotivasi kebencian rasial.
El Paso merupakan kota yang padat dengan penduduk keturunan latin dan terletak di perbatasan AS dan Meksiko. Kota ini juga berdekatan dengan area Ciudad Juarez, yang menjadi titip perjumpaan para imigran yang ingin masuk ek AS atau sedang menunggu permohonan suaka diterima.
Ebrard mengatakan kementeriannya juga akan meminta informasi dari AS mengenai cara pelaku penembakan memperoleh senjata. Dan apakah petugas AS tahu soal pembelian senjata ini.
“Faktanya orang Meksiko tewas memaksa kami untuk mengambil langkah hukum terkait penggunaan senjata,” kata dia.
Presiden Meksiko, Andres Manuel Lopez Obrador, mengatakan negaranya akan memastikan otoritas akan dimintai pertanggung-jawaban jika mereka terbukti mengizinkan penggunaan senjata secara berlebihan.
“Di Meksiko ada kontrol senjata. Di negara lain, membeli senjata seperti membeli mainan saja, tidak ada kontrol,” kata Obrador.
Pemerintahan kiri yang dipimpin Obrahdor baru-baru ini mendapat tekanan dari Presiden AS, Donald Trump, yang memintanya melakukan tindakan lebih terhadap imigran yang ingin masuk ke AS. Atau, AS akan menaikkan tarif perdagangan jika itu tidak dilakukan.
“Masalah sosial seharusnya tidak diselesaikan dengan cara kekerasan atau kebencian,” kata Obrador.
Sydney Morning Herald melansir aksi penembakan massal di El Paso, Texas, Amerika, terinspirasi oleh aksi brutal yang dilakukan Brenton Tarrant di Christchurch, Selandia Baru, pada Maret 2019.
Tarrant, yang mengaku tidak bersalah soal aksi teror yang dilakukannya dalam kesaksian di pengadilan yang sedang berlangsung di Selandia Baru, mengungkapkan kebenciannya terhadap para imigran yang datang ke Selandia Baru dalam manifesto yang diunggah di internet. Tarrant sendiri berkewarganegaraan Australia dan menjadi imigran di Selandia Baru.