TEMPO.CO, Jakarta - Hampir setiap hari, ratusan pria dan perempuan mengungsi dari Baghouz, wilayah terakhir ISIS.
Mereka yang mengungsi terlihat trauma. Beberapa berjalan menggunakan tongkat penyangga, ambulan, atau kursi roda. Anak-anak dan bayi menangis kelaparan meminta makanan.
Para ibu menggendong bayi di lengan, dan menjinjing tas ransel atau karung plastik dengan beberapa barang di lengan lain. Beberapa dari mereka telah kehilangan anak atau suami. Beberapa membawa kantong koin tembaga dan perak yang diciptakan ISIS, yang menurut mereka dapat digunakan sebagai mata uang kekhalifahan.
Baca: Bertempur Mati-matian, Anggota Fanatik ISIS Semakin Brutal
Kini di luar Baghouz, mereka berbaris untuk diperiksa oleh musuh ISIS, pasukan SDF, di area penerimaan di padang pasir, dengan debu menutupi pakaian mereka. Para pria berbaris secara terpisah untuk diperiksa oleh para pejuang SDF yang mengumpulkan data biometrik mereka, menurut laporan ABC News, 7 Maret 2019.
Um Abdulrahman (nama samaran), seorang ibu berusia 27 tahun mengatakan, dia mencoba selama empat hari untuk mengungsi sebelum akhirnya mendapat tempat di truk. Bayinya tewas dan dirinya sendiri terluka parah akibat serangan mortir sepekan lalu. Suaminya adalah petugas pembersih masjid dan takut untuk pergi.
"Dia sangat takut kalau mereka akan membunuhnya," kata Um Abdulrahman.
Namun, akhirnya mereka berdua berhasil keluar Baghouz dan suaminya diperiksa oleh SDF.
Pengungsi remaja berbaring di dalam truk di dekat desa Baghouz, Suriah, 1 Maret 2019.[REUTERS]
Pengungsi lain bernama Um Rayyan, 25 tahun, mengatakan dirinya masih mendukung ISIS namun dia kecewa karena semakin maraknya korupsi di kelompok ISIS.
"Ketika kami pertama kali tiba di wilayah ISIS, semuanya berlangsung tertib. Tidak ada perbedaan antara warga Irak, Suriah, atau warga asing," katanya. Namun di tahun terakhir, dia mengatakan pemerintahan ISIS dimonopoli oleh warga Irak dan mengambil semua pekerjaan.
Baca: Ribuan Militan ISIS Keluar dari Tempat Persembunyian Terakhir
"Menurut saya ini adalah alasan kenapa ISIS gagal...Tuhan melindungi kami (dari pasukan koalisi). Tapi ketika ada korupsi di dalam, Tuhan berhenti memberikan kami kemenangan," kata Rayyan, perempuan Prancis-Maroko, yang kini kehilangan separuh lengannya dan kakinya terluka karena ledakan.
Dia sangat sedih karena dominasi Irak, sementara warga asing kehilangan status mereka.
"Kami menjadi kelompok yang terpinggirkan," katanya."Kami hidup di bawah pengeboman selama empat tahun."
Sementara Aliya, warga Suriah berusia 27 tahun dari Aleppo, mengatakan suaminya mendapat gaji US$ 100 (Rp 1,4 juta) sebulan sekali mengajar di masjid, tapi seiring kondisi memburuk, militan ISIS memintanya mengajar tanpa bayaran. Ketika suaminya tewas bulan lalu, dia tidak masuk daftar subsidi bagi janda. Aliya terpaksa mengandalkan bantuan saudarinya untuk keperluan sehari-hari.
"Pada akhirnya, mereka hanya membagikan kurma kepada perempuan menyusui. Aku tidak mendapatkannya," kata Aliya.
Rana, ibu dua anak berusia 27 tahun, pergi ke Suriah dari Mesir setelah ISIS mendeklarasikan kekhalifahan pada 2014. Dia mengaku selama tinggal di Raqqa adalah waktu-waktu terbaik, dia bahkan bisa membeli emas untuk putri-putrinya dan kelompok ISIS memiliki banyak anggaran. Setelah kejatuhan Raqqa, dia dan keluarganya kabur bersama militan.
Baca: Militer Suriah Serang Anggota ISIS yang Kabur ke Gurun
Rana keluar dari Baghouz bersama dua putrinya, usia 5 dan 8 tahun, di gelombang terakhir sebelum SDF menyerang pada Jumat kemarin. Suaminya yang berusia 27 tahun, ingin bertempur terus. Ketika mengantre diperiksa SDF, dia membawa emas terakhir dari balik pakaiannya dengan hanya membawa beberapa barang dan kurma yang diberikan militan ISIS sebelum dievakuasi dari desa Baghouz, Suriah, di tepi Sungai Eufrat.