TEMPO.CO, Jakarta - Putri Ubolratana Rajakanya Sirivadhana Barnavadi, 67 tahun, meminta maaf kepada masyarakat Thailand setelah Komisi Pemilihan Umum mendiskualifikasi pencalonannya sebagai Perdana Menteri. Putri Ubolratana adalah kakak kandung Raja Thailand, Maha Vajiralongkorn, 66 tahun.
Baca: Parpol Usung Putri Raja di Pemilu Thailand Terancam Dibubarkan
“Dengan setulus hati, saya meminta maaf karena niat saya ingin bekerja untuk negara dan masyarakat Thailand telah menyebabkan masalah seperti ini yang seharusnya tidak terjadi,” kata Putri Ubolratana melalui akun Instagram, seperti dikutip dari reuters.com, Rabu, 13 Februari 2019.
Putri Uboltratana Rajakanya, anak sulung raja Thailand Bhumibol Adulyadej dan Ratu Sirikit calonkan diri sebagai perdana menteri dalam pemilu 24 Maret 2019. [CHANNEL NEWS ASIA]
Baca: Komisi Penyiaran Thailand Tutup Saluran TV Pro Thaksin
Sebelum menyampaikan permohonan maaf, Putri Ubolratana muncul di publik, tepatnya di wilayah tengah Thailand. Dia dicopot dari gelar kebangsawanannya saat menikahi seorang laki-laki warga negara Amerika Serikat pada 1972, Peter Jensen. Putri Ubolratana tinggal di Amerika Serikat selama lebih dari 26 tahun sebelum keduanya bercerai pada 1998.
Setelah didiskualifikasi, sejumlah natizen mendesak Putri Ubolratana agar mengabdikan hidupnya melayani masyarakat Thailand sebagai anggota kerajaan. Namun permintaan itu ditolaknya.
“Saya tidak mau dalam posisi seperti itu lagi. Saya sudah menyerahkan gelar kebangsawanan beberapa tahun silam,” kata Putri Ubolratana.
Tak lama setelah Putri Ubolratana menyampaikan permohonan maaf, Komisi Pemilihan Umum Thailand mengatakan sedang berupaya mendiskualifikasi Partai Thai Raksa Chart, partai yang mengusung pencalonan Putri Ubolratana. Komisi Pemilihan Umum menilai mengusung keluarga kerajaan menjadi Perdana Menteri adalah sebuah kemunduran. Sebab selama ini, keluarga kerajaan tidak diperbolehkan memegang jabatan politik.
Rencananya, Thailand akan menggelar pemilu pada 24 Maret 2019. Pemilu ini yang pertama kali digelar sejak kudeta militer pada 2014 yang menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra. Pemilu pada 2019 diproyeksi akan menjadi persaingan antara pendukung Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dan para pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.