TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa minggu menjelang pemilu Thailand, lembaga telekomunikasi Thailand pada hari Selasa menutup izin operasi saluran televisi yang terkait dengan mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Komisi Penyiaran Nasional mengatakan penutupan ini dilakukan dengan alasan kekhawatiran keamanan nasional.
Dua program di Voice TV, Tonight Thailand dan Wake Up News, menyebarkan informasi yang menyebabkan kebingungan dan perpecahan publik, kata Komisi Penyiaran Nasional Thailand, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Baca: Putri Ubolratana Rajakanya Didiskualifikasi dari Pemilu Thailand
"NBTC memerintahkan Voice TV untuk meningkatkan diri dengan penangguhan lisensi operasi selama 15 hari," kata Perapong Manakit, salah satu komisaris, dikutip dari Reuters, 13 Februari 2019.
Pemilihan 24 Maret, mengadu Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha yang pro militer dan royalis terhadap gerakan populis yang dipimpin oleh Thaksin dan para pengikutnya, akan menjadi yang pertama sejak kudeta militer 2014 dan datang di tengah kekhawatiran atas upaya junta untuk membungkam lawan.
Voice TV dimiliki oleh dua anak Thaksin, yang digulingkan dalam kudeta pada tahun 2006 dan yang telah hidup di pengasingan sejak 2008 untuk menghindari tuduhan korupsi yang katanya termotivasi secara politis.
Thaksin Shinawatra. REUTERS/Samrang Pring
Takorn Tantasith, sekretaris jenderal komisi penyiaran, mengatakan pelanggaran itu bertentangan dengan undang-undang penyiaran televisi, khususnya bagian yang menyangkut keamanan nasional dan perdamaian dan ketertiban.
Beberapa episode yang disebutkan dalam salinan perintah NBTC, yang diterbitkan oleh Voice TV, menampilkan wawancara dengan dua kandidat perdana menteri dari partai Pheu Thai Thaksin.
Voice TV sebelumnya telah ditutup dua kali, dua hari sebelum kudeta 2014, yang menjatuhkan saudara perempuan Thaksin, Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, dan pada 2017.
Baca: Parpol Usung Putri Raja Thailand Jadi Calon PM Terancam Dihukum
Kepala eksekutifnya, Mekin Petchplai, menyebut perintah penutupan itu "tidak adil", dan mengatakan saluran itu akan mengajukan banding dan menuntut ganti rugi 100 juta baht lebih atau Rp 45 juta.
"Ketika pemilu Thailand akan digelar dalam beberapa minggu lagi, (langkah seperti ini) harus berhenti karena orang-orang membutuhkan berita yang berkualitas dan menyeluruh untuk menginformasikan keputusan mereka tentang pemungutan suara," kata kepala eksekutif Voice TV.